
PAKAR Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) Haidar Nasir menanggapi kritik dari Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengenai partisipasi bermakna dan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang (UU). Pernyataan itu disampaikan oleh Habiburokhman pada Selasa, 17 Juni 2025, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) komisi bidang hukum dewan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Perhimpunan dan Advokat Indonesia.
Haidar menjelaskan pernyataan tersebut menunjukkan DPR sebagai sebuah lembaga negara terkesan ingin terlihat dominan dalam relasi ketatanegaraan. Menurutnya, koreksi yang dijalankan MK melalui fungsi kewenangannya adalah hal yang wajar.
“Padahal, koreksi antarlembaga ini merupakan derivasi dari gagasan besar konstitusionalisme yang mengandaikan adanya pembatasan kekuasaan pada setiap lembaga negara,” ucapnya kepada Media Indonesia pada Kamis (19/6).
Haidar menyebut MK hadir sebagai badan peradilan yang memiliki peran penting dalam menjaga produk konstitusi dan mengoreksi potensi penyimpangan dalam sistem hukum dan pemerintahan, serta sebagai upaya menjaga stabilitas pemerintahan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
“Pembatasan kekuasaan tersebut diwujudkan melalui aktivitas penyeimbangan dan pengecekan dari kewenangan yang ada. Dan putusan Mahkamah Konstitusi tidak lahir dalam ruang yang hampa,” katanya.
Menurut Haidar, ide tentang partisipasi bermakna muncul akibat adanya pengabaian partisipasi publik oleh DPR dalam tahapan pembentukan undang undang Cipta Kerja. “DPR dan Presiden seharusnya lebih banyak melibatkan masyarakat dalam perumusan undang undang,” ungkapnya.
Atas dasar itu, lanjutnya, MK merespons dengan cepat keberatan publik melalui konsep partisipasi bermakna dalam beberapa putusannya terkait pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Ketika parlemen berkubang dalam gelembung ketidakpedulian, MK mampu mengamplifikasi keberatan keberatan yang muncul di publik sekaligus memberikan guideline bagi pembentuk undang undang menyangkut apa yang sepatutnya dilakukan dalam pembentukan undang undang,” tuturnya.
Selain itu, Haidar menjelaskan secara filosofis, MK dapat disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat karena pengaturannya didasarkan pada UUD NRI 1945 yang merupakan produk MPR.
“Komposisi hakimnya juga berasal dari lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yaitu DPR dan Presiden,” tukasnya.
Di samping itu, Haidar menuturkan DPR sebagai lembaga perwakilan yang pengaturannya didasarkan pada UUD NRI tahun 1945, seharusnya dapat memahami fungsi dari partisipasi masyarakat, bukan justru mendiskreditkan peran MK. Seharusnya, DPR melihat ketentuan dalam pasal lainnya yang mengatur tentang hak setiap warga negara untuk berpendapat serta turut serta dalam (mengkritisi) pemerintahan.
Menurut Haidar, pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan merupakan suatu prasyarat dalam negara demokrasi. Pelibatan ini selanjutnya dimaknai haruslah bermakna.
Lebih lanjut, ungkapan Habiburokhman yang mengatakan bahwa putusan MK tidak melibatkan partisipasi masyarakat dinilai kurang tepat dan terlalu melibatkan emosional yang subjektif.
“Ungkapan itu tidak didasarkan pada argumentasi keilmuan yang kokoh. MK jelas menjalankan fungsi yang berbeda dengan DPR karena ia adalah kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan imparsial,” ujarnya.
“Ia tidak dapat diintervensi oleh pihak eksternal dalam membuat keputusan,” sambungnya.
Haidar mengatakan salah satu asas dalam hukum acara MK adalah ‘audi et alteram partem’ yang bermakna sebelum membuat keputusan maka para hakim akan mendengarkan dari berbagai pihak, baik yang pro maupun yang kontra.
“Setelah melakukan destilasi atas fakta-fakta yang muncul di persidangan, maka Mahkamah Konstitusi akan membuat keputusan,” pungkasnya. (M-2)