
Suasana khidmat menyelimuti Soehana Hall, Senayan, pada Rabu (30/4) malam, saat komposer ternama Ananda Sukarlan membawakan puisi “Aku Cinta Padamu” karya Doddi Ahmad Fauji dan “Dari Duka Masa Lalu” karya Sihar Ramses Simatupang—dua karya sastra yang sarat makna dan emosi. Disusul alunan lembut piano dan denting biola bersatu dengan suara sopran yang merdu dari Mariska Setiawan.
Dengan ekspresi penuh penghayatan, Mariska menyuarakan puisi-puisi itu dengan kekuatan vokal yang khas, membuat penonton hanyut dalam suasana syahdu. Riuh tepuk tangan menggema usai persembahan, menandai kekaguman para hadirin akan harmoni yang tercipta.
Malam belum usai. Sorotan lampu beralih pada Ngulmiya Nundhirribala, musisi asal Australia yang berasal dari komunitas adat. Bersama putranya Nayurryurr Nundhirribala dan musisi Anthony Gray, ia mempersembahkan komposisi penuh jiwa dengan alat musik tradisional Australia. Penampilan mereka dimulai dengan lagu “Migidawun”—simbol pertukaran budaya antara pelaut Makassar dan komunitas pribumi Australia yang telah terjadi sejak ratusan tahun silam.
Konser lintas budaya bertajuk Gabalandhurra ini menjadi panggung yang mempertemukan dua warisan besar: Indonesia dan Australia. Di bawah sorotan lampu temaram, musik mengalir sebagai bahasa yang universal, menjembatani sejarah, emosi, dan identitas.
Sederet lagu yang dibawakan malam itu, seperti Gurumburra, Ma-Lhyin, Gabalandhurra, hingga Dhararri, bukan sekadar pertunjukan musikal. Masing-masing lagu menyimpan cerita—tentang mimpi, kehilangan, sejarah, dan harapan. Lagu Gabalandhurra, misalnya, lahir dari mimpi Ngulmiya saat saudara perempuannya meninggal. Dalam mimpinya, sebuah kapal tua Makassar datang menjemput roh almarhumah dan membawanya pulang.
Tak kalah menyentuh adalah cerita di balik Ma-Lhyin, lagu yang terinspirasi dari kisah kakek Ngulmiya yang pertama kali melihat pesawat terbang. Semua itu diceritakan dalam nada, tanpa perlu terjemahan, dan tetap menggugah rasa siapa pun yang mendengarnya.
“Persembahan malam ini tidak hanya mencerminkan pertukaran budaya yang mendalam antara Australia dan Indonesia, tetapi juga menjadi bentuk penghormatan terhadap kisah bersama yang telah terjalin selama berabad-abad,” ungkap Gita Kamath, Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia dalam sambutan pembukaannya.
Senada, Ananda Sukarlan menuturkan hubungan kedua negara ini telah terjalin sejak sebelum kedatangan Inggris ke benua Australia. “Para pelaut Makassar adalah yang pertama menjalin kontak dengan penduduk asli di sana,” katanya. Karya terbarunya yang berjudul Bora Ring pun terinspirasi dari ritual kuno suku Aborigin, yang ia tafsirkan dalam bentuk komposisi piano modern.
“Saya ingin menunjukkan kehidupan kita, persaudaraan kita dan persahabatan kita akan selalu tetap menyatu dan semoga ini bisa berkembang selamanya antara Australia dan Indonesia” ungkapnya.
Panggung malam itu tampil elegan dalam kesederhanaannya. Dinamika pencahayaan yang selaras dengan irama musik membuat setiap penampilan terasa intim dan penuh arti. Penonton dari berbagai kalangan, termasuk tamu kehormatan dan pecinta seni budaya, larut dalam suasana. Tak sekadar menikmati, mereka diajak menyelami warisan budaya yang hidup.
Lebih dari sekadar konser, Gabalandhurra adalah cermin kebersamaan. Musik menjadi denyut nadi yang menghidupkan kembali kenangan, merangkul perbedaan, dan memperkuat jalinan antara dua bangsa. Di malam yang penuh harmoni ini, suara-suara dari dua negeri berbaur menjadi satu—menggema sebagai pesan abadi bahwa warisan budaya bukan untuk dikenang semata, melainkan untuk terus dirayakan dan dilestarikan bersama. (Z-2)