
KONTICH, sebuah kota di Belgia, baru saja jadi saksi perayaan budaya Indonesia yang spektakuler dan penuh warna. Kota ini menggelar edisi kedua Festival Indonesia Kaki Lima yang memukau ribuan pengunjung dengan semarak jajanan dan budaya khas Indonesia.
Diselenggarakan Native Indonesia, organisasi yang didirikan Irin Puspasari dan Indah Virginia, dan dukungan Jonas Kerremans, Silvie Kerremans, dan Amelia Diva Heren, festival ini bukan hanya ajang promosi budaya, tapi juga jembatan persahabatan antara dua bangsa.
Festival ini secara resmi dibuka Duta Besar Indonesia untuk Belgia Andri Hadi bersama Wakil Walikota Kontich Peter Lambrechts. Momen ini jadi simbol kuat eratnya hubungan bilateral yang harmonis, menegaskan posisi Indonesia sebagai mitra budaya signifikan di level internasional.
Panggung utama Festival Indonesia Kaki Lima dipenuhi pertunjukan memukau seperti harmoni bambu dari ansambel Angklung Sanggar Sriwijaya serta tarian tradisional elegan khas Jakarta dan Bali dari Dwi Mekar Belgium yang diiringi irama gamelan dari Mudrasvara Nusantara. Tak ketinggalan, demonstrasi seni bela diri Pencak Silat Linkeroever dan Pamor Badai Amsterdam menambah adrenalin dan kekaguman.
Di sisi musik tak kalah meriah dengan penampilan BJamz, Magic Circle, Dhini Rambu Piras (runner-up The Voice Indonesia 2018), saksofonis Nana Willems, dan Joni Sheila (pendiri Asian Persuasion).
Acara yang dipandu Gabriel Celloste dan Silvie Kerremans ini juga menghadirkan penampilan spesial dari artis Belgia, Tinne Oltmans. Festival ini juga jadi ajang bagi talenta mode Indonesia. Anindya Asmarani Sindhuwinatha, yang berusia 17 tahun, tumbuh dengan kecintaan mendalam pada wastra Nusantara terinspirasi sang tante, Maharani.
Maharani, pemilik dan desainer label Lurik Prasojo, membawa koleksi musim panas yang memadukan motif tradisional dan sentuhan modern.
Juga, Tiffany Boetik memamerkan desain batik dari Bentalaproject-Master Bagasi, sementara Dua Bags, Toko Manis, dan De Hiro menampilkan beragam karya kerajinan tangan khas Indonesia yang unik dan artistik.
Pengunjung juga dimanjakan hidangan kuliner otentik Indonesia mulai dari bakso ikan Kito, nasi bakar Toko Kalimantan, masakan Bali Dwi Mekar, nasi goreng House of Indonesia, dan es cendol Senang Sanur Bali. Ada pula diskusi hasik kerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Brussel, Asian Persuasion, Konservatorium Antwerpen, dan Anindya, bertema Budaya sebagai jembatan menuju harmoni dan kehidupan bersama.
Irin Puspasari, salah satu pendiri Native, menjelaskan nama Kaki Lima memiliki dua makna. Secara harfiah berarti lima kaki, pedagang kaki lima menggunakan gerobak dengan dua kaki (penjual itu sendiri), dua roda, dan satu balok penyangga, total lima kaki.
"Secara historis, Kaki Lima juga merujuk pada trotoar selebar lima kaki (sekitar 1,5 meter) yang dibangun VOC selama masa kolonial. Trotoar ini memberikan ruang bagi pedagang kecil untuk menjajakan dagangannya, asal mula kehidupan jalanan dinamis yang masih menjadi ciri khas Indonesia hingga kini,” jelas Irin.
Festival ini ini juga menyajikan produk mode dan kerajinan tangan Indonesia di Kaki Lima Pop-Up Store, yang akan dibuka mulai Juni di toko Toko Manis di Asiatpark, Vilvoorde.
"Kami bersama Kedubes Indonesia di Brussel, Commpassion, Kekumpul, Quindo, dan PPI Belgia, terus berkomitmen mempromosikan dan melestarikan budaya Indonesia di Belgia, menyatukan komunitas lewat kebersamaan, kreativitas, dan kebanggaan warisan bangsa," ujar Irin.
Andri Hadi, Dubes Indonesia untuk Belgia, mengungkapkan makanan dan seni memiliki kekuatan unik menyatukan orang-orang, mendorong dialog dan pemahaman antarindividu dari berbagai latar belakang dan kebangsaan. "Saya harap pertemuan ini memperkuat ikatan persahabatan, kemitraan, dan kolaborasi antara masyarakat Belgia dan Indonesia,” ujar Andri. (H-2)