Duck Syndrome Bukti Kelas Menengah Terjebak Tuntutan Sosial dan Krisis Finansial

2 hours ago 3
Duck Syndrome Bukti Kelas Menengah Terjebak Tuntutan Sosial dan Krisis Finansial Aktifitasi para pekerja yang akan menuju kantor nya masing-masing di kawasan Senayan, Jakarta.(MI/Susanto)

PAKAR Ekonomi IPB University Anisa Dwi Utami menjelaskan fenomena duck syndrome atau sindrom bebek menjadi cerminan nyata dari tekanan sosial dan ekonomi yang tengah dihadapi kelas menengah Indonesia.

Fenomena ini menggambarkan kondisi ketika seseorang tampak tenang di permukaan tetapi sebenarnya sedang berjuang keras di bawah tekanan yang berat.

"Individu dari kelompok kelas menengah sering dituntut untuk tampil sukses, stabil, dan bahagia, meskipun sebenarnya mereka menghadapi tekanan besar secara emosional dan finansial," ujar Anisa dalam keterangan resmi.

Ia menambahkan, harapan tinggi dari keluarga, persaingan akademik dan profesional, serta ekspektasi sosial yang diperkuat oleh media sosial membuat banyak orang merasa harus terus tampil "sempurna".

MI/HO--Pakar Ekonomi IPB University Anisa Dwi Utami

Kondisi ini, menurutnya, diperparah oleh terbatasnya akses terhadap dukungan psikologis serta stigma terhadap masalah kesehatan mental, sehingga beban yang dirasakan kerap disembunyikan demi menjaga citra.

Sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Anisa juga menyoroti bahwa saat ini kelas menengah menghadapi tekanan ekonomi yang nyata. Tingginya inflasi dan stagnasi pendapatan menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan biaya hidup yang terus meningkat.

"Harga pangan, terutama beras, naik signifikan dan memaksa banyak keluarga mengalokasikan sebagian besar pendapatan hanya untuk kebutuhan pokok," ucapnya.

Ia melanjutkan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 semakin menekan daya beli, apalagi jika kenaikan upah minimum hanya berkisar 3%-4%. 

Situasi diperburuk oleh meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peralihan pekerja ke sektor informal.

Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata tabungan masyarakat kini hanya sekitar Rp4,6 juta (November 2024), lebih rendah dibanding periode sebelumnya. 

Kondisi tersebut, menurut Anisa, menunjukkan ketidakmampuan kelas menengah untuk mengimbangi biaya hidup yang melonjak.

Ia menyarankan agar masyarakat kelas menengah memperkuat literasi keuangan, menyusun anggaran bulanan secara disiplin, serta memprioritaskan kebutuhan pokok dan tabungan. 

Selain itu, diversifikasi pendapatan dan peningkatan keterampilan juga penting untuk menjaga stabilitas finansial.

"Dengan kombinasi antara pengelolaan keuangan yang bijak dan pengembangan diri, masyarakat kelas menengah dapat lebih tahan terhadap tekanan ekonomi dan tetap sehat secara finansial," tutupnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |