
PRESIDEN AS Donald Trump menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai “seorang diktator,” yang semakin memperburuk perang kata-kata antara kedua pemimpin tersebut. Konflik ini dimulai ketika Trump secara keliru menuduh Ukraina sebagai pihak yang memulai perang dengan Rusia.
Tuduhan Trump ini diposting di media sosialnya, Truth Social, hanya beberapa jam setelah Zelensky menuduhnya menyebarkan disinformasi Rusia.
Berbicara kepada wartawan di Kyiv, Zelensky membantah beberapa klaim tak berdasar yang dibuat Trump, sekaligus menegaskan kembali Ukraina harus dilibatkan dalam setiap kesepakatan untuk mengakhiri perang.
“Sayangnya, Presiden Trump—saya sangat menghormatinya sebagai pemimpin negara yang kami hormati, rakyat Amerika yang selalu mendukung kami—hidup dalam ruang disinformasi ini,” kata Zelensky.
Trump secara terbuka menyatakan ia ingin perang segera berakhir—bahkan jika itu berarti Ukraina harus kehilangan lebih banyak wilayah. Yang lebih mengkhawatirkan bagi Kyiv dan sekutunya, Trump kerap mengadopsi narasi Kremlin, menyalahkan Ukraina dan NATO atas konflik ini, bahkan mengatakan bahwa Ukraina “bisa saja menjadi bagian dari Rusia suatu hari nanti.”
Namun, dukungan Trump terhadap Rusia tidak hanya terbatas pada retorika. Pekan lalu, banyak pihak terkejut ketika ia memilih untuk melakukan panggilan telepon selama 90 menit dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum berbicara dengan Zelensky.
Kemudian, pejabat AS dan Rusia mengadakan pembicaraan tingkat tinggi tentang pengakhiran perang di Ukraina di Riyadh, Arab Saudi—tanpa melibatkan Kyiv.
Putin memuji sikap baru AS terhadap Rusia ini. Berbicara tentang pertemuan di Riyadh, Putin mengatakan ia mendapat laporan suasana pertemuan itu “bersahabat.”
“Ada orang-orang yang sangat berbeda di pihak Amerika, yang terbuka terhadap proses negosiasi tanpa prasangka, tanpa mengutuk apa yang telah terjadi di masa lalu,” tambah Putin.
AS dan Rusia sepakat di Riyadh untuk membentuk tim negosiator tingkat tinggi guna mengakhiri perang dan berupaya membangun kembali jalur diplomasi.
Zelensky menegaskan kembali Ukraina tidak senang dengan pengecualiannya dari perundingan tersebut. Ia menyatakan meskipun setiap negara berhak untuk membahas isu bilateralnya, pertemuan langsung AS dengan Rusia “membantu Putin keluar dari isolasi panjangnya.”
Di bawah pemerintahan Biden, AS adalah salah satu sekutu terdekat Ukraina dan telah memberikan bantuan militer bernilai puluhan miliar dolar. Namun, Trump dengan jelas menyatakan AS seharusnya tidak lagi memberikan bantuan kepada Ukraina tanpa mendapatkan imbalan.
Awal bulan ini, Trump mengusulkan agar AS mendapatkan akses ke sumber daya mineral Ukraina sebagai imbalan atas bantuan tersebut. Zelensky mengatakan AS meminta Ukraina untuk “menyerahkan” 50% dari mineral langkanya tanpa memberikan jaminan keamanan sebagai imbalan. Ia menolak permintaan itu dan menegaskan, “Saya tidak bisa, saya tidak bisa menjual negara kami.”
Pada Rabu malam, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan dukungannya kepada Zelensky “sebagai pemimpin Ukraina yang terpilih secara demokratis” setelah komentar Trump. Kanselir Jerman Olaf Scholz juga menyebut menolak legitimasi demokratis Zelensky adalah hal yang “salah dan berbahaya.”
Zelensky kemudian memposting di X bahwa ia menghargai dukungan dari Inggris dan menegaskan bahwa Ukraina “tidak akan pernah melupakan rasa hormat yang ditunjukkan rakyat Inggris terhadap Ukraina dan warganya.”
Trump Mengulangi Klaim Palsu
Keluhan awal Kyiv yang dikecualikan dari pembicaraan itulah yang memicu serangkaian klaim palsu dari Trump. Berbicara pada Selasa malam, Trump mengatakan: “Hari ini saya mendengar, ‘Oh, kami tidak diundang.’ Yah, kalian sudah ada di sana selama tiga tahun. Seharusnya kalian menyelesaikannya dalam tiga tahun. Seharusnya kalian tidak pernah memulainya. Kalian seharusnya membuat kesepakatan.”
Klaim salah bahwa Ukraina yang memulai perang telah lama digaungkan Kremlin dan para pendukungnya. Konflik ini sebenarnya dimulai tahun 2014 ketika Rusia secara ilegal mencaplok Krimea, semenanjung di selatan Ukraina, dan mulai mendukung separatis pro-Rusia di Ukraina timur.
Kemudian, pada Februari 2022, Moskow melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina, menyerang negara tetangganya pada malam hari, mengirim tank melintasi perbatasan, membombardir kota-kota Ukraina, dan mengirim pasukan khusus ke Kyiv untuk membunuh Zelensky.
Namun, Trump tidak berhenti sampai di situ. Dengan mengulangi narasi Kremlin lainnya, ia tampaknya mempertanyakan legitimasi Zelensky sebagai presiden.
“Kita memiliki situasi di mana tidak ada pemilu di Ukraina, di mana ada darurat militer,” kata Trump kepada wartawan di resor Mar-a-Lago miliknya, secara keliru mengklaim bahwa tingkat persetujuan terhadap Zelensky “hanya 4%.”
Pada kenyataannya, Zelensky memenangkan lebih dari 73% suara dalam putaran kedua pemilu presiden 2019. Masa jabatannya seharusnya berakhir Mei lalu, tetapi pemilu baru tidak dapat dilaksanakan karena Ukraina berada dalam status darurat militer sejak invasi Rusia. Hukum darurat militer melarang diadakannya pemilu.
Seorang juru bicara Downing Street mengatakan Starmer telah berbicara dengan Zelensky dan mengatakan kepadanya “sangat masuk akal untuk menangguhkan pemilu selama masa perang, seperti yang dilakukan Inggris selama Perang Dunia II.”
Zelensky secara khusus menyatakan klaim tentang tingkat persetujuan 4% berasal dari Rusia. Kyiv memiliki bukti angka tersebut telah dibahas antara AS dan Rusia.
Ia merujuk pada survei yang dilakukan Kyiv International Institute of Sociology (KIIS) awal bulan ini, yang menunjukkan meskipun popularitasnya menurun sejak awal perang, tingkat persetujuan Zelensky tidak pernah turun di bawah 50% dan saat ini berada di angka 57%.
Menteri Transformasi Digital Ukraina, Mykhailo Fedorov, bahkan lebih jauh lagi, dengan menyoroti di Telegram bahwa tingkat persetujuan Zelensky saat ini lebih tinggi dibandingkan Trump.
Hubungan antara Trump dan Zelensky telah tegang sejak masa jabatan pertama Trump, ketika ia menekan Zelensky untuk menyelidiki rival politiknya, Joe Biden, dan putranya, Hunter, dalam sebuah panggilan telepon. Panggilan itu kemudian menjadi penyebab pemakzulan pertama Trump.
Kremlin Memuji Trump
Pernyataan Trump memicu kemarahan di seluruh Ukraina, dengan beberapa orang mengatakan bahwa presiden AS itu tidak dapat dipercaya.
Berbicara kepada CNN di pusat kota Kyiv, seorang psikolog bernama Valeria Valevska mengatakan bahwa Trump “sangat salah.” “Saya percaya bahwa Trump adalah seorang narsistik, ia sangat tidak terduga, dan rakyat Ukraina tidak dapat mempercayainya atau mengandalkan dukungannya sama sekali. Saya tidak suka kebijakan Trump, dan saya pikir sebagian besar warga Ukraina serta Eropa juga tidak,” katanya.
Sementara itu, seorang pensiunan bernama Oleksandr Mykhailov mengatakan kepada CNN bahwa ia percaya Trump “jelas tidak memahami apa yang sedang dibicarakannya.”
Komentar Trump mendapat sambutan hangat di Moskow. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memuji Trump karena menggemakan narasi Kremlin, dengan mengatakan bahwa Trump tampaknya “memahami posisi kami.”
Sementara itu, Rusia terus melancarkan serangan brutalnya terhadap Ukraina, maju di garis depan timur dan menyerang dari udara. Moskow melancarkan serangan drone besar-besaran ke beberapa kota Ukraina pada hari Selasa, hanya beberapa jam sebelum pertemuan di Riyadh. Meskipun ada serangan tersebut, pembicaraan tetap berjalan sesuai rencana. (CNN/Z-2)