
NEGARA di kawasan ASEAN dinilai perlu menerapkan sistem desentralisasi energi dan energi terbarukan berbasis lokal. Misalnya tenaga surya, hidro mini, dan bioenergi. Tujuannya untuk memperkuat ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi.
Dalam catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), rasio elektrifikasi di kawasan ASEAN umumnya telah melebihi 90%. Namun masih banyak masyarakat yang belum menikmati akses listrik yang andal dan berkualitas untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonominya.
Hal itu mengemuka dalam Dialog Regional: Mempromosikan Akses Energi Terdesentralisasi di Asia Tenggara pada 22-23 April 2025 di Jakarta.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menekankan, desentralisasi energi terbarukan merupakan upaya yang strategis untuk mencapai trilema energi dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Ia menuturkan, penerapan sistem energi terbarukan terdesentralisasi di ASEAN masih menghadapi berbagai tantangan.
Tantangan itu antara lain keterbatasan infrastruktur teknis untuk energi terbarukan, kesulitan mengakses pembiayaan yang terjangkau, dan keterbatasan sumber daya manusia yang terampil.
“Selain meningkatkan kemampuan jaringan untuk akomodasi energi terbarukan, mereformasi mekanisme pembiayaan yang menilai manfaat lebih dari sekadar kilowatt-jam, pembangunan kapasitas lokal dan transfer pengetahuan, ASEAN juga perlu memastikan sistem energi terdesentralisasi bisa terintegrasi dengan baik,” ungkap Fabby dikutip dari keterangan resmi, Jumat (25/4).
CEO dan Presiden Energy Foundation China Prof Ji Zou menegaskan, dengan keunggulannya dalam skalabilitas, keberlanjutan, dan aksesibilitas, energi terbarukan yang terdesentralisasi mampu menjadi pilar utama bagi masa depan energi ASEAN.
“Energi terdesentralisasi juga menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi. Saat ini, banyak negara di kawasan ASEAN berupaya meningkatkan investasi energi terbarukan di tengah permintaan pasar yang terus tumbuh, termasuk untuk sistem fotovoltaik terdistribusi (PV system), dan mini-grid hibrida," paparnya.
Menurutnya, energi terdesentralisasi membuka peluang untuk mendorong investasi, mempercepat inovasi teknologi, dan menciptakan model bisnis baru. Peluang itu tidak hanya mempercepat transisi energi ASEAN, tetapi juga membangun fondasi bagi kemakmuran ekonomi jangka panjang dan ketahanan energi.
Plt Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Chrisnawan Anditya menyoroti pentingnya kolaborasi lintas negara dalam mendorong desentralisasi energi di kawasan ASEAN. Menurutnya, meskipun kebijakan dan regulasi terkait masih kompleks, pelibatan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan infrastruktur energi terbarukan secara jangka panjang.
IESR merangkum enam rekomendasi utama untuk mempercepat pengembangan energi terdesentralisasi di ASEAN. Pertama, menekankan pentingnya integrasi desentralisasi energi dalam APAEC 2026–2030 sebagai strategi mitigasi ketergantungan terhadap infrastruktur jaringan listrik terpusat.
Kedua, diversifikasi skema pembiayaan. Dalam hal ini negara anggota ASEAN perlu mengembangkan mekanisme pembiayaan campuran (blended finance), memanfaatkan pembiayaan berbasis hasil (result-based financing, RBF), memperluas akses terhadap sukuk hijau (green bonds) dan pembiayaan iklim, serta mempromosikan kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnerships, PPP).
Ketiga, penerapan model yang inklusif dan partisipatif yang berpusat pada komunitas, pelembagaan peran pemerintah lokal dan masyarakat, serta mengembangkan panduan implementasi lintas negara.
Keempat, penguatan kerangka kebijakan dan regulasi melalui harmonisasi regulasi energi terdesentralisasi, penetapan target dan roadmap nasional jangka panjang, integrasi dengan sistem jaringan, serta memberikan insentif dan mitigasi risiko.
Kelima, pembangunan kapasitas dan transfer pengetahuan. Beberapa langkah yang didorong seperti peluncuran program pelatihan dan sertifikasi regional, pembentukan pusat pengetahuan energi terdesentralisasi, serta dukungan untuk riset dan inovasi antarnegara.
Keenam, memperkuat kolaborasi dan pengawasan berkelanjutan melalui pembangunan platform dialog regional yang terinstitusionalisasi serta kerangka pemantauan. Selain itu, evaluasi berkala perlu dilakukan untuk memastikan akuntabilitas dan kemajuan yang terukur. (H-3)