
SEJAK diberlakukannya kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah, industri perhotelan di Indonesia mengalami dampak signifikan, terutama dalam penurunan tingkat hunian hotel di berbagai daerah.
Kebijakan efisiensi anggaran yang mencakup pengurangan belanja perjalanan dinas, penyelenggaraan rapat, dan kegiatan pemerintahan di hotel berdampak langsung terhadap okupansi hotel, khususnya di kota-kota yang selama ini mengandalkan sektor MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions) sebagai sumber pendapatan utama.
Ketua Umum Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) I Gede Arya Pering Arimbawa menyampaikan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan oleh DPP IHGMA pada Februari 2025 terhadap 315 hotel, tingkat hunian secara nasional mengalami penurunan rata-rata sebesar 10 sampai 20 persen atau setara dengan potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp500 juta hingga Rp1 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis, menunjukkan tren penurunan okupansi paling signifikan.
IHGMA mencatat efisiensi anggaran berdampak pada berkurangnya perjalanan dinas dan kegiatan rapat di hotel yang menyebabkan anjloknya tingkat keterisian kamar, terutama di hotel berbintang yang selama ini banyak digunakan oleh instansi pemerintah.
Dampak yang Luas
Efisiensi anggaran juga berdampak terhadap tenaga kerja. Sejumlah hotel mulai menyesuaikan operasionalnya dengan melakukan efisiensi tenaga kerja guna menekan biaya operasional akibat penurunan pendapatan.
Selain itu, Arimbawa menyebut terjadinya penurunan pendapatan sektor pendukung. Industri pendukung seperti katering, transportasi, dan event organizer turut terdampak akibat berkurangnya kegiatan yang sebelumnya banyak diselenggarakan oleh pemerintah di hotel-hotel.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pelaku industri perhotelan mulai menerapkan berbagai langkah strategis untuk mempertahankan bisnis. Arimbawa menyatakan bahwa diperlukan strategi baru yang lebih adaptif untuk menghadapi situasi tersebut.
"Kami harus mengubah strategi bisnis agar tetap bertahan, namun proses ini membutuhkan waktu yang tidak singkat," ujar Arimbawa melalui keterangannya, Rabu (5/3).
Dengan adanya perubahan kondisi pasar, ia berharap industri perhotelan dapat segera beradaptasi dan menemukan solusi inovatif agar dapat bertahan dan berkembang di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum IHGMA, Wita Jacob dan Garna Sobhara Swara menyoroti pentingnya inovasi dalam strategi pemasaran serta diversifikasi target pasar untuk mengatasi ketergantungan terhadap segmen MICE. Sementara itu, pendiri IHGMA Angkoso Soekadari menegaskan bahwa peran asosiasi sangat krusial dalam memberikan dukungan bagi para General Manager hotel agar dapat beradaptasi dengan perubahan pasar.
(H-3)