
“KALAU kamu berdiri di depan Sam Poo Kong, apa yang kamu lihat? Apa yang kamu rasakan? Bagaimana kamu akan menceritakannya kepada orang lain?”
Suara lembut Ayu Kusumadiyastuti mengalun di tengah kelas lima SDN Wonotingal, Kota Semarang.
Hari itu bukan hari biasa. Bukan pula pelajaran Bahasa Indonesia yang biasa. Di tangan Ayu, pembelajaran teks deskriptif berubah menjadi petualangan kecil.
Tidak ada diktat panjang, tidak ada hafalan struktur paragraf. Justru, yang ada adalah pertanyaan-pertanyaan reflektif, gawai, dan laptop, serta antusiasme anak-anak yang siap belajar.
Ayu, guru kelas sekaligus fasilitator daerah Program PINTAR Tanoto Foundation, menyadari bahwa mengajar Bahasa Indonesia, terutama keterampilan menulis, tak bisa hanya mengandalkan buku teks dan contoh soal.
“Banyak anak mengalami kesulitan saat diminta menggambarkan suatu tempat atau objek,” ujarnya.
"Mereka belum terbiasa mengamati, apalagi menuangkannya dalam bentuk tulisan yang runtut dan menarik," tambahnya.
Berangkat dari kegelisahan itu, Ayu merancang sebuah proyek pembelajaran berbasis teknologi dan konteks lokal.
Namanya Proyek Peta Virtual Wisata Kota Semarang. Proyek ini bukan hanya soal belajar menulis, tetapi juga tentang mengenal kota tempat tinggal, membangun rasa bangga, dan mengembangkan keterampilan abad ke-21.
Dalam prosesnya, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Setiap kelompok memilih satu tempat wisata ikonik di Semarang seperti, Kota Lama, Lawang Sewu, Sam Poo Kong, dan lainnya.
Mereka lalu diminta untuk mengeksplorasi tempat tersebut dari berbagai aspek: sejarah, daya tarik visual, hingga pengalaman khas yang mungkin dirasakan pengunjung. Namun, eksplorasi itu tidak dilakukan dengan kunjungan langsung, melainkan dengan bantuan teknologi.
Ayu memperkenalkan mereka pada Assemblr Edu, sebuah aplikasi berbasis augmented reality yang memungkinkan visualisasi tempat dalam bentuk gambar tiga dimensi.
“Melalui aplikasi ini, anak-anak bisa melihat bentuk bangunan, warna, bahkan seolah-olah berjalan di dalamnya,” jelas Ayu.
"Itu sangat membantu mereka memahami objek secara konkret sebelum menulis," ia menambahkan.
Salah satu siswa, Faiha Nada, mengaku awalnya kesulitan memahami cara menulis deskriptif. “Tapi setelah pakai teknologi ini, aku jadi lebih paham dan lebih semangat. Menulisnya juga jadi terasa kayak bercerita,” katanya.
Guru di SDN Wonotingal, Kota Semarang, Ayu Kusumadiyastuti.
Setelah eksplorasi selesai, siswa mulai menulis. Teks disusun berdasarkan hasil pengamatan virtual dan informasi yang mereka temukan dari berbagai sumber daring. Ayu mendampingi mereka dalam proses penyusunan, memperbaiki struktur kalimat, serta menyunting penggunaan bahasa.
Namun pembelajaran tak berhenti di sana. Teks-teks deskriptif yang dihasilkan siswa lalu diunggah ke platform Padlet. Mereka membuat semacam peta digital wisata Kota Semarang, di mana setiap lokasi dilengkapi dengan teks deskripsi, gambar, dan tautan video singkat. Peta ini kemudian dibagikan kepada publik dan bisa diakses siapa saja melalui tautan bit.ly/petavirtualwisatakotasemarang.
“Ketika mereka melihat tulisan mereka tampil di layar, lengkap dengan peta dan gambar, saya bisa melihat wajah mereka berubah. Ada rasa bangga yang luar biasa,” ujar Ayu sambil tersenyum.
Bagi Ayu, pembelajaran ini bukan sekadar eksperimen. Ia meyakini bahwa pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang membumi, yang mampu menghubungkan siswa dengan dunia mereka sendiri.
Sebagai lulusan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar dari Universitas Negeri Semarang dan peserta Program Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Jakarta, Ayu memiliki fondasi akademik yang kuat, namun ia tidak berhenti belajar dari praktik sehari-hari di kelas.
Sejak tahun 2019, Ayu mengajar di SDN Wonotingal dan aktif dalam berbagai komunitas pendidikan. Ia pernah menjadi narasumber dalam pelatihan literasi-numerasi, pelatihan penulisan cerita berbasis AI dan kearifan lokal, hingga terlibat dalam kampanye Hari Perempuan Internasional bersama Tanoto Foundation.
Di tengah kesibukannya, ia juga mengikuti berbagai pelatihan guru, termasuk Wardah Inspiring Teacher dan pelatihan literasi yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kota Semarang.
Dalam refleksinya, Ayu mengakui bahwa tantangan selalu ada. Tidak semua siswa memiliki gawai pribadi, jaringan internet kerap terbatas, dan waktu pembelajaran di sekolah sangat terbatas. Namun menurutnya, keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berinovasi.
“Kita tidak selalu butuh perangkat canggih. Terpenting adalah bagaimana kita merancang pembelajaran yang relevan, menyenangkan, dan mendorong anak berpikir,” katanya.
Ia percaya bahwa tugas guru adalah membuka pintu. Pintu untuk mengenal dunia, mengenal diri, dan membangun mimpi. Pintu itu tidak selalu berupa bangku dan papan tulis, kadang ia hadir dalam bentuk teknologi yang akrab, pertanyaan yang tepat, atau bahkan kepercayaan sederhana bahwa setiap anak mampu tumbuh jika diberi kesempatan.
Proyek Peta Virtual Wisata Kota Semarang kini menjadi contoh nyata bahwa pelajaran Bahasa Indonesia bisa menjadi ruang kreatif yang hidup.
Lewat tulisan deskriptif, anak-anak tak hanya belajar struktur kalimat, tetapi juga membangun relasi dengan kota mereka, saling bekerja sama, dan menyadari bahwa tulisan mereka punya arti.
“Hal yang ingin saya tanamkan bukan hanya kemampuan menulis,” kata Ayu di akhir wawancara.
“Saya ingin anak-anak tahu bahwa suara mereka penting. Cerita mereka berharga dan tulisan mereka bisa membawa orang lain menjelajahi dunia, meski hanya lewat layer,” kata Ayu. (RO/Z-2)