
Hujan deras yang mengguyur berbagai wilayah Indonesia, memicu bencana banjir. Selain menenggelamkan permukiman dan merusak infrastruktur, banjir juga memicu wabah penyakit serta penumpukan sampah. Terkait dengan hal itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional menyatakan saat ini tengah mengembangkan teknologi pemantauan bencana secara real time untuk menghadapi potensi banjir di Indonesia.
“Kami mengembangkan berbagai instrumentasi hidrometeorologi untuk mendukung riset dan industri. Salah satu inovasi kami adalah sistem monitoring realtime yang mencakup pemantau kelembaban tanah dan alat deteksi longsor (AdeL)," jelas Ketua Kelompok Riset Teknologi Kebencanaan dan Energi Perairan Darat (TKEPD) BRIN Agustya Adi Martha dalam keterangan resmi, Selasa (18/3).
Agustya juga mengungkapkan bahwa BRIN telah mengembangkan perangkat Indonesian Structural Health Monitoring (INA-SHM) yang digunakan untuk memantau dampak gempa dan kondisi kekuatan struktur pada bendungan atau waduk. Selain itu, juga dikembangkan Automatic Weather System (AWS) yang dapat diintegrasikan dengan Sistem Monitoring Elevasi Gelombang Laut (SEGARA) untuk memantau ketinggian muka air laut secara real-time.
Agustya dan tim juga akan mengintegrasikan sistem monitoring terpadu sebagai sistem early warning system (EWS) bencana hidometeorologi, yang datanya dapat diakses olah para periset maupun BPBD serta lembaga terkait.
Dalam upaya mitigasi banjir, Perekayasa Ahli Utama sekaligus Ketua Kelompok Riset Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Heru Widodo menjelaskan perkembangan signifikan dalam teknologi modifikasi cuaca (TMC) di Indonesia. Awalnya TMC difokuskan untuk menambah curah hujan di waduk dan sektor pertanian, kini mampu mengurangi intensitas curah hujan serta mengatasi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
"Kolaborasi antara BMKG dan BRIN ke depan memungkinkan penerapan TMC akan dapat berjalan secara cepat dan efektif yang didukung dengan pengembangan teknologi modifikasi cuaca dari hasil riset BRIN," tutur Heru.
Ia menambahkan bahwa metode TMC untuk pengurangan curah hujan mencakup jumping process menggunakan pesawat terbang dan kompetisi uap air menggunakan Ground Particle Generator (GPG).
“GPG terbukti mampu mengurangi curah hujan lebih dari 20% di area pertambangan dan dapat dioperasikan selama 24 jam, menggantikan pesawat yang hanya dapat beroperasi pada siang hari.” jelasnya.
Sebagai langkah inovatif, Heru juga mengusulkan penggunaan roket TMC untuk operasi malam hari. TIongkok, misalnya, telah menggunakan 1.110 roket untuk mengendalikan cuaca selama Olimpiade 2008. Untuk itu, BRIN mendorong pengembangan teknologi serupa dengan dukungan peralatan, seperti Flying Laboratory for Atmospheric Research (FLARes), radar cuaca, dan alat survei lainnya.
“Kemandirian teknologi menjadi langkah penting bagi Indonesia dalam mitigasi bencana alam. Harapannya, teknologi ini dapat diintegrasikan dalam sistem mitigasi banjir yang lebih komprehensif,” pungkas Heru. (E-3)