
BEKERJA dan mendidik sebagai guru hampir selalu beriring dengan kepercayaan bahwa masa depan kehidupan berada di tangan generasi yang lebih muda; para murid dan pembelajar. Dengan demikian, memastikan pendidikan yang berkualitas bagi mereka yang belajar adalah sebuah keniscayaan yang dianggap sebagai investasi terbaik untuk memengaruhi dan memastikan masa depan.
Proses pendidikan selalu diupayakan untuk dilakukan secara adil, terukur, sekaligus empatik, sebagai jaminan bagi mereka yang belajar untuk menaklukkan masa depan. Namun faktanya, sikap, perilaku, dan tindakan guru dalam melihat, memperlakukan, dan menilai murid tidak dapat terhindar dari kemungkinan bias tak sengaja (implicit bias) yang memengaruhi mereka dalam membuat keputusan. Karena itu, perlu bagi pendidik atau mereka yang bekerja di sektor pendidikan untuk memahami bias tak sengaja yang dapat memengaruhi pilihan sikap, tindakan, dan keputusan mereka.
PROSES MENTAL
Istilah bias implisit atau bias yang tak disadari diperkenalkan oleh Anthony Greenwald dan Mazarin Banaji di tahun 1995, dimaknai sebagai sikap yang tak disengaja dan stereotipe tanpa sadar yang dapat memengaruhi pemahaman, tindakan, dan keputusan seseorang.
Sikap atau stereotipe semacam ini biasanya ditujukan atau dilakukan pada kelompok sosial tertentu. Bias implisit dibedakan dari prasangka eksplisit yang biasanya berakar dari sikap negatif yang diperlihatkan secara sadar dan disengaja oleh individu atau kelompok sebagai refleksi keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok tertentu. Misalnya, saat guru secara sadar menyatakan bahwa anak perempuan lebih mudah diatur daripada anak laki-laki, ia sebenarnya sedang mempraktikkan bias yang eksplisit.
Bias implisit lebih sulit dideteksi karena dipercaya beroperasi di luar kesadaran manusia. Mengacu pada kerangka berpikir untuk memahami fungsi kognitif manusia yang dibahas oleh Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow (Kahneman: 2011), manusia dalam memahami dunia melakukan proses mental yang dikenal sebagai sistem 1 dan sistem 2. Kedua proses mental itu memengaruhi cara manusia berpikir dan mengambil keputusan.
Sistem 1 bekerja secara otomatis, cepat, tak perlu ‘usaha’ dan tak disadari keberadaannya. Kadang dicirikan pula sebagai asosiatif, intuitif, emosional, dan impulsif. Contohnya, respons pengemudi kendaraan melihat lampu lalu lintas berwarna merah ialah menghentikan kendaraan, dan saat lampu lalu lintas berwarna hijau akan menjalankan kendaraan.
Dalam sistem 1, seseorang nyaris atau sama sekali tidak memerlukan usaha dalam membuat keputusan. Sebaliknya, sistem 2 adalah proses berpikir yang memerlukan proses, membutuhkan konsentrasi dalam kadar tertentu, memerlukan usaha, dan tentu saja lebih lambat. Proses mental dalam sistem 2 bersifat logis, rasional, dan membutuhkan energi/tidak otomatis. Contohnya mengisi formulir penghitungan pajak, atau menyelesaikan soal matematika yang sulit (Kahneman: 2011 dan Staats: 2016).
Bias implisit bekerja secara otomatis dalam sistem 1, yaitu pola pikir cepat dan tanpa sadar yang sering kali tidak sejalan dengan niat atau kesadaran seseorang, tetapi tetap memengaruhi pengambilan keputusan. Karena berlangsung di luar kesadaran, bias ini dapat muncul pada siapa saja dan menghasilkan tindakan yang bertentangan dengan tujuan awal. Seperti ketika seorang guru yang ingin mendidik dengan ramah, justru memilih pendekatan militeristik, sebagaimana terlihat dalam praktik pendisiplinan murid oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengandung banyak potensi bias implisit.
Praktik ‘pendisiplinan’ dalam pendidikan bukan hal mudah. Menentukan kategori perilaku ‘baik’ atau ‘buruk’ (‘bermasalah’ atau ‘tidak bermasalah’) tidak selalu mudah untuk dilakukan dan diterapkan. Dalam banyak praktiknya, penentuan kategori ini selalu dipandang dari sudut guru/pembuat aturan atau kebijakan.
Aspek subjektivitas berpengaruh besar dalam menentukan tafsir guru atau pembuat kebijakan guna menentukan sikap atau perilaku ‘baik’ atau ‘buruk’ (murid ‘bermasalah’ atau ‘tidak bermasalah’). Tidak mudah menentukan standar bagi perilaku murid yang dianggap ‘bermasalah’, meskipun upaya menentukan parameter seperti aturan sekolah atau kode etik berikut konsekuensinya dilakukan.
Selalu tersedia ruang yang lebar bagi subjektivitas guru atau pembuat aturan untuk menafsirkan kategori ‘murid bermasalah’, terutama karena tanpa disadari mereka memiliki pengalaman dan ingatan asosiatif yang subjektif atas apa makna ‘disiplin’ itu sendiri. Lebih jauh, cara berpikir ‘pendisiplinan’ murid di atas mengaskan praktik bias implisit dalam pendidikan.
Jadi, bisa dipahami, kritik atas kebijakan pendisiplinan murid militeristik ala Gubernur Dedi Mulyadi berkaitan dengan alternatif rasional untuk menimbang ulang ide tentang disiplin dan karakter murid, kompleksitas kondisi psikososial mereka, pentingnya hak tumbuh kembang anak, dampak psikologis pendekatan militeristik, serta perlunya pendekatan penyelesaian masalah anak yang lebih ramah, variatif, dan berbasis pendampingan, bukan penertiban. Usulan-usulan itu mencerminkan cara berpikir logis dan rasional demi memperbaiki karakter serta disiplin murid dengan menumbuhkan kesadaran, bukan menambah ketakutan.
MENUMBUHKAN KESADARAN
Lalu apa yang harus dilakukan untuk merespons bias implisit dalam pendidikan? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru/pendidikan/pembuat kebijakan pendidikan, di antaranya peka terhadap fakta bahwa tidak seorang pun dapat terhindar dari bias implisit. Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa tak seorang pun—termasuk mereka yang merasa paling paham dengan cara mendidik—akan terhidar dari bias implisit, maka kehati-hatian dalam berpikir, memahami, dan bertindak dalam merespons dan menentukan keputusan terkait dengan pendidikan murid akan terasah.
Beberapa cara untuk melatih kesadaran terhadap bias implisit antara lain dengan membiasakan diri mendengar secara empatik, meninjau ulang asosiasi kognitif yang dimiliki—seperti menguji kembali persepsi guru terhadap murid—mempelajari lebih dalam mengenai bias implisit, membangun kebiasaan mengumpulkan dan menganalisis data sebelum mengambil keputusan, serta menyediakan waktu untuk memproses informasi secara lebih saksama.
Secara kelembagaan, sekolah dapat memulai sistem penanganan berbagai masalah yang dihadapi murid, melatih guru dengan beragam pendekatan dalam mengatasi masalah murid di sekolah, serta menyusun mekanisme pengaduan dan penyelesaian berbagai masalah di sekolah, sembari tetap menjamin prinsip dialog dan keterlibatan aktif dalam perumusan kebijakan sekolah.
Terakhir, mitigasi bias implisit dalam pendidikan mengharuskan latihan terus-menerus yang membutuhkan komitmen kuat demi perbaikan. Jika tidak, bias implisit berulang dan selalu menjadi ganjalan dalam meraih masa depan.