Akademisi IPB University Sebut Buzzer tidak Selalu Negatif

3 hours ago 1
Akademisi IPB University Sebut Buzzer tidak Selalu Negatif Ilustrasi(Freepik)

DOSEN Sekolah Vokasi IPB University Hari Otang Sasmita menyampaikan pandangannya mengenai fenomena buzzer di media sosial yang kerap menjadi perhatian dalam pembentukan opini publik. Ia mengatakan bahwa keberadaan buzzer tidak selalu identik dengan hal negatif.

"Buzzer tidak selalu identik dengan hal negatif, meskipun sering diasosiasikan dengan manipulasi opini publik," ujar Hari. 

Menurutnya, ada sisi positif yang muncul ketika buzzer digunakan untuk mempercepat penyebaran informasi yang benar dan mendukung tujuan sosial. Contohnya dalam kampanye kesehatan, edukasi publik, dan mitigasi bencana.

Lebih lanjut ia menjelaskan, buzzer dapat berperan sebagai information amplifier, yakni mempercepat penyebaran pesan penting ke masyarakat luas yang sulit dijangkau dengan metode konvensional. 

Namun, efek sosialnya menjadi kompleks ketika buzzer memengaruhi pembentukan opini publik secara masif melalui media sosial.

"Buzzer bekerja dengan memanfaatkan network effects dan algoritma personalisasi dari platform media sosial. Mereka mengoordinasikan narasi tertentu dan memperbanyak eksposur agar opini tampak seolah didukung oleh mayoritas," jelasnya. 

Fenomena ini menciptakan bandwagon effect, yakni kecenderungan masyarakat mengikuti opini yang terlihat dominan di lini masa mereka.

Namun, ia mengingatkan bahwa ketika buzzer digunakan secara manipulatif, dampaknya bisa destruktif. 

"Jika dikelola secara tidak etis, buzzer dapat mempercepat polarisasi sosial, memperkeruh ruang publik, dan menyebarkan disinformasi," tambahnya

Hari juga membahas peran akun bot dan kecerdasan buatan (AI) dalam memperkuat pengaruh buzzer. 

Menurutnya, meningkatnya penggunaan akun otomatis dan semi-otomatis telah mengubah lanskap wacana publik. Akun-akun ini mampu menyebarkan pesan dalam volume besar dan digunakan secara strategis untuk membentuk opini publik, sehingga kualitas diskursus menurun.

"Ruang digital kita makin dipenuhi oleh noise ketimbang dialog yang substansial," jelasnya. 

Kondisi ini, sebutnya, memperbesar risiko terciptanya echo chambers, yakni ruang gema digital yang hanya menampilkan pandangan seragam.

Menghadapi tantangan tersebut, Hari menekankan perlunya peningkatan literasi digital guna membangun kesadaran masyarakat. Ia mengutip gagasan filter failure dari Clay Shirky, bahwa permasalahan utama bukan terletak pada jumlah informasi, melainkan kegagalan dalam memfilter informasi penting dan akurat.

Strategi yang disarankan meliputi integrasi kurikulum literasi digital, perluasan program edukasi untuk populasi dewasa dan lansia, serta intervensi pemeriksaan fakta yang tidak menimbulkan skeptisisme ekstrem terhadap sumber informasi sah. 

Selain itu, kampanye publik untuk mengenali berita palsu dan pelatihan keterampilan analisis visual juga diperlukan.

Hari menjelaskan, "Semua strategi ini diarahkan untuk memperbaiki filter failure, membangun kembali mekanisme penyaringan informasi di tingkat individu dan komunitas." 

Kembali ia tegaskan, tanpa filter yang baik, masyarakat berisiko besar terjebak dalam banjir informasi palsu, memperburuk polarisasi, dan memperlemah kualitas diskursus publik yang sehat. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |