
Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nicodemus, memaparkan sejumlah indikator yang menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ambruk lebih dari 6% pada penutupan perdagangan sesi I, Selasa (18/3). Akibatnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) membekukan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS). Setidaknya, menurut dia, ada enam sentimen yang memicu terjadinya hal tersebut.
- Pertama, Presiden Rusia Vladimir Putin berkeinginan untuk menjalanlan perang lebih lama.
- Kedua, pembalasan tarif yang lebih besar dari Uni Eropa terhadap Amerika Serikat (AS), serta kekhawatiran pelaku pasar terhadap resesi di AS yang terus meningkat.
- Ketiga, dari dalam negeri, penerimaan negara turun hingga 30%, yang mengakibatkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar. "Ini membutuhkan penerbitan utang yang lebih besar dan tentu saja rupiah yang semakin melemah," ujar Nico.
- Keempat, pajak domestik yang mengalami penurunan hingga 30,19% year on year (yoy), yakni hanya sebesar Rp269 triliun.
- Kelima, defisit APBN yang mencapai Rp31,2 triliun per Februari 2025.
- Terakhir, belanja pemerintah juga turun 7%, sehingga utang naik 44,77% pada Januari 2025.
"Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian meningkat di Indonesia. Ini membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil. Sehingga saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham," ujar Nico.
Pada penutupan perdagangan sesi I, Selasa, IHSG tercatat ditutup melemah 395,87 poin atau 6,12% ke posisi 6.076,08. Sementara itu, indeks LQ45 tercatat turun 38,27 poin atau 5,25% ke posisi 691,08. (Ant/E-3)