
DI tengah ketatnya persaingan industri kedai kopi (coffee shop) di Indonesia, dibutuhkan strategi untuk bertahan dan berkembang, salah satunya dengan menggunakan strategi waralaba atau franchise. Menjalankan bisnis kopi bukan sekadar mengikuti tren, tetapi juga perlu membangun pondasi yang kuat.
Bagi pengusaha kopi yang ingin berekspansi, juga tidak bisa melakukannya begitu saja tanpa sistem manajemen yang solid. Terutama dalam hal operasional, keuangan, dan sumber daya manusia. Tanpa tim yang kuat, proses scale-up akan menjadi tantangan besar.
Tantangan ini semakin terasa di industri kopi yang kini memasuki fase ‘red ocean.’ Dalam kondisi seperti ini, banyak merek kopi mulai mencari cara untuk bertahan dan berkembang tanpa terbebani oleh tingginya model ekspansi.
Salah satu solusi yang banyak diadopsi adalah waralaba. Dengan model ini, sebuah merek dapat memperluas jangkauan modal yang lebih terdistribusi, sementara mitra waralaba mendapatkan keuntungan dari sistem yang sudah teruji.
Salah satu kedai kopi yang turut menggunakan strategi waralaba di antaranya adalah kedai kopi Titik Koma. Titik Koma sudah hadir sejak sejak 2016 dan kini memiliki 47 cabang di 18 kota di Indonesia.
CEO dan salah satu pendiri Titik Koma Andrew Prasetya Goenardi mengungkapkan kunci utama mempertahankan eksistensi adalah memiliki positioning yang jelas di tengah red ocean (persaingan sengit dan margin keuntungan yang semakin tipis) industri kopi di Indonesia. Setiap usaha di industri tersebut perlu memahami di mana mereka ingin berada, apakah menyasar segmen premium, menengah, atau yang lebih terjangkau.
“Industri kopi itu kan sangat bervariasi, kita di bisnis yang red ocean. Dari yang harganya murah sampai mahal banget itu semua ada pasarnya. Cuma yang kita harus tahu, kita mau berada di mana,” ujar Andrew dalam siaran pers yang diterima Media Indonesia, Senin, (24/2).
Merek kopi tersebut pun berupaya menghadirkan pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, salah satunya dengan menciptakan suasana untuk bekerja, pertemuan bisnis, atau sekadar nongkrong. Untuk itu, Titik Koma menyediakan tempat yang nyaman untuk bekerja dengan suasana tenang, hingga gerai dengan private meeting room berkapasitas kecil.
"Kami mencoba mengakomodasi apa yang dibutuhkan pasar karena tiap daerah punya preferensi yang berbeda,” jelas Andrew.
Ketua umum Perkumpulan Profesional & Inovator Kopi Indonesia (PaPIKI), Steve Hidayat menyebut waralaba sebagai pendorong utama pertumbuhan bisnis kopi.
“Di sektor hilir, angka rata-rata konsumsi kopi per orang Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain. Dengan sistem waralaba, pertumbuhan bisnis kopi, terutama coffee shop, sangat terbantu dan berkembang pesat,” ujar Steve.
Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah pemain di industri ini, Steve juga menekankan pentingnya inovasi dan diferensiasi untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat. Misalnya, memperkenalkan proses penyangraian unik atau memiliki konsep bisnis yang berbeda, seperti memberdayakan tenaga kerja dari kelompok tertentu.
Strategi yang sama juga diungkapkan oleh Erwin Halim, pengamat waralaba dari Proverb Consulting. Menurutnya, agar merek kopi lokal tetap relevan dan bertahan di tengah ketatnya persaingan, penting untuk fokus pada peningkatan brand awareness dan brand equity.
“Selain itu, bisnis juga perlu melakukan inovasi dari sisi nama produk, menyediakan layanan yang lebih cepat, dan harga yang lebih murah,” ucapnya. (H-3)