UU Sisdiknas Sebaiknya Diganti Menggunakan Metode Kodifikasi

1 week ago 17
UU Sisdiknas Sebaiknya Diganti Menggunakan Metode Kodifikasi Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Atip Latipulhayat.(Antara)

WAKIL Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat mengatakan bahwa pihaknya menyarankan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diganti dengan menggunakan metode kodifikasi. 

Kemendikdasmen menyarankan UU Sisdiknas diganti melalui metode kodifikasi dengan pertimbangan regulasi mengenai bidang pendidikan yang saat ini diatur dalam berbagai Undang-Undang yang terpisah memerlukan penataan melalui metode Kodifikasi Hukum karena Kodifikasi dapat menjadikan kumpulan peraturan perundang-undangar menjadi lebih sederhana dan mudah dikuasai, tersusun secara logis, dan serasi sehingga didapat suatu kesatuan hukum dan kepastian hukum,” ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat Panja RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional bersama Komisi X DPR RI, Rabu (5/3). 

Lebih lanjut, menurut Atip, dari sudut kebijakan hukum, kodifikasi menghasilkan peraturan yang lebih sistematis, konsisten, dan menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum yang tertulis.

Dari sudut pembaharuan hukum, kodifikasi merupakan wujud pembaharuan hukum dalam konsepsi intelektualnya, yaitu sebagai titik terakhir dari upaya untuk membuat UU baru yang tentunya didasarkan pada nilai-nilai agama, kemanusiaan, dan nilai sosial budaya.

“Ini juga dapat mengatasi fragmentasi regulasi pendidikan yang berisiko inkonsisten dan menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Selain itu, kodifikasi lebih jelas dan spesifik mengatur sektor pendidikan dibandingkan omnibus law yang seringkali mencampur regulasi lintas sektor serta menghindari citra negatif metode Omnibus di kalangan masyarakat Indonesia,” tegasnya. 

Dia pun memberikan evaluasi terhadap UU Sisdiknas di mana terkait pemerataan akses pendidikan, wajib belajar hanya berlaku 9 tahun (SD dan SMP), padahal jenjang prasekolah merupakan fondasi utama dan jenjang menengah juga penting sebagai transisi kepada karier akademik maupun profesional. 

Kemudian pengaturan pendidikan khusus bagi peserta didik penyandang disabilitas belum sepenuhnya selaras dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, termasuk dalam hal definisi, jangka waktu layanan, dan prinsip akomodasi yang layak. 

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Terkait relevansi ketentuan penjaminan mutu, pasal 57-59 UU Sisdiknas menimbulkan penafsiran yang beragam terkait jenis dan pelaksanaan evaluasi pendidikan. Lalu 8 sandar nasional pendidikan (SNP) yang ada saat ini dianggap terlalu kompleks, mengikat, dan tidak selalu relevan untuk seluruh jalur pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan nonformal dan informal, serta variasi kondisi daerah. 

UU Sisdiknas saat ini juga mendefinisikan kurikulum hanya sebatas rencana pembelajaran di dalam kelas. Kurikulum seharusnya mencakup pengalaman belajar holistik, baik di dalam maupun di luar kelas. 

Kemudian UU Sisdiknas saat ini tidak secara eksplisit mengakui pendidik PAUD sebagai guru, terutama yang mengajar anak usia 0-5 tahun di satuan PAUD non-TK. Hal ini menimbulkan perlakuan dan hak yang berbeda dibandingkan guru lain. 

Sertifikasi juga dijadikan syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi. Namun banyak guru yang belum bisa mengikuti PPG karena keterbatasan kuota. Lalu pengaturan tunjangan profesi dalam UU Sisdiknas yang terlalu spesifik berpotensi membatasi kemungkinan mendapatkan penghasilan yang lebih layak. 

Pengaturan guru dalam UU Guru dan Dosen juga dikatakan berbenturan dengan UU ASN dan UU Ketenagakerjaan yang menyebabkan tidak sinkronnya aspek penggajian, rekrutmen dan status kepegawaian guru. 

Penyebutan 20% anggaran pendidikan dari APBN dan APBD dalam UU Sisdiknas berimplikasi pada perhitungan ganda karena sebagian besar APBD bersumber dari APBN melalui transfer dana daerah. 

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Togar M. Simatupang mengamini UU Sisdiknas perlu dibentuk dengan kodifikasi. 

“Dengan kodifikasi, kami berharap agar semua UU terkait pendidikan yang akan disatukan dalam RUU Sisdiknas dapat dibahas secara komprehensif. Dengan demikian keterhubungan antar UU dapat terpetakan dengan baik dan dapat mengurangi risiko ketidakselarasan dan pertentangan antar UU,” ujar Togar. 

ANGGARAN BELUM ADIL

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kamaruddin Amin menekankan bahwa tentang fundamental yang dihadapi oleh pendidikan keagamaan selama ini adalah persoalan anggaran yang dirasakan belum adil. 

“Misalnya pendidikan keagamaan itu kira-kira di atas 20% tapi anggarannya saya kira hanya 11%. Madrasah kami ada sekitar 60 ribu dengan jumlah siswa/siswi sebanyak 13 juta. Madrasah juga berkontribusi 17% terhadap pendidikan dasar dan menengah. Belum lagi pesantren yang ada sekitar 40 ribu belum termasuk formal di situ. Pendidikan tinggi keagamaan negeri dan swasta juga kami ada cukup besar atau sekitar 10 ribu. Kami sama sekali tidak mendapatkan anggaran pendidikan TKDD,” ujar Togar. 

“Jadi bisa dibayangkan ada ratusan triliun anggaran TKDD di pemerintah daerah dan madrasah sama sekali tidak bisa mendapatkannya. Selalu alasannya karena Kementerian Agama ini vertikal. Oke lah kalau negeri kami tidak perlu dibantu dari pemerintah daerah. Tapi swasta ini kan milik masyarakat. Sehingga kami harus membuat surat edaran bahwa kepala daerah boleh membantu pendidikan keagamaan swasta,” pungkasnya. (Des)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |