Tersesat di Labirin Pendidikan

7 hours ago 1
Tersesat di Labirin Pendidikan (MI/Seno)

DI ragam forum pendidikan dunia, internalisasi teknologi pendidikan untuk mendukung kegiatan pendidikan menjadi lebih optimal selalu digaungkan. Selain juga betapa pentingnya pengarusutamaan teknologi dalam berbagai aktivitas kehidupan (WEF, 2025). Janjinya ialah, dengan dukungan teknologi maka berbagai pencapaian kehidupan termasuk pendidikan yang lebih tinggi akan mudah digapai.

Teknologi memang tak bisa dibantah, diciptakan manusia untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Namun, norma utama yang sering dilupakan ialah teknologi itu diciptakan oleh manusia, bukan digunakan untuk mengontrol segala kebutuhan manusia dan kita begitu bergantung padanya. Lalu, dalam konteks Indonesia, apakah akselerasi teknologi semata yang perlu menjadi perhatian utama pembuat kebijakan?

Saya perhatikan, dalam konteks pendidikan di Indonesia, sesungguhnya teknologi bukanlah prioritas utama yang harus dikejar. Apalagi jika diandaikan bahwa ‘teknologi’ tersebut adalah sesuatu hal yang canggih dan baru, dan harus segera diinternalisasikan di ruang pendidikan. Menurut saya, setidaknya ada beberapa hal yang justru harus menjadi prioritas.

PRIORITAS PENDIDIKAN

Pertama, kesetaraan akses. Memang tampak klasik, tapi dalam konteks Indonesia yang masih memiliki ragam pekerjaan rumah dalam pemenuhan akses, menjadikan teknologi sebagai acuan utama kemajuan pendidikan tentu sudah menyimpan persoalannya sendiri. Di banyak tempat di negeri ini bahkan masih ada anak-anak bangsa yang belum menikmati akses listrik, melihat komputer dan memanfaatkannya, atau memanfaatkan internet untuk mencari berbagai sumber pembelajaran. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi mereka ibarat imaji yang sulit diraih. Untuk perkara substansi penunjang pendidikan seperti buku-buku berkualitas ataupun guru yang memadai, juga masih jadi persoalan klasik yang tak kunjung mendapatkan solusi.

Kebijakan yang dibutuhkan di ruang pendidikan ialah bagaimana kesetaraan-kesetaraan bisa digapai sehingga tak ada beda kualitas pendidikan yang ada di Jakarta dengan di Papua, NTT, atau wilayah-wilayah perbatasan. Bahkan, jika ingin lebih kritis, di wilayah-wilayah di Pulau Jawa yang dianggap sebagai wilayah yang dianggap paling maju dari berbagai segi, ada celah-celah kosong yang timbul dan tidak setara. Jika mampir di pinggiran utara, barat, timur, selatan Jakarta, kita akan mudah menemukan ketimpangan pendidikan. Di kota-kota yang dianggap maju di Indonesia, kualitas pendidikan pun tak mudah tergapai. Jadi fokus pada penyediaan layanan mendasar adalah hal yang utama di poin kesetaraan.

Kedua, prioritas pada kelompok yang marginal. Kondisi saat ini membuat keluarga-keluarga marginal semakin bernapas terengah-engah mencari nafkah terbaik agar anak-anak mereka mendapat pendidikan yang lebih baik sehingga hidup sang anak lebih baik daripada bapak/ibunya. Ketika ragam kebijakan terus berdinamika dan berubah, ketimpangan masih terus melintas di depan mata.

Guru-guru yang masih menuntut hak untuk mendapatkan penghasilan yang memadai, bahkan tidak sampai pada tahap sejahtera, masih terus hadir. Anak-anak yang tak berkesempatan mendapat sekolah yang memadai, sebab yang ada di lingkungan rumah hanya sekolah yang ‘seadanya’, masih jadi cerita harian. Kebijakan terbaru terkait dengan sistem penerimaan murid baru (SPMB) masih belum dapat dipastikan apakah akan memberi ruang yang lebih adil bagi anak-anak marginal.

Ketiga, kecermatan dan keteguhan pemerintah dalam mendesain kebijakan. Kegamangan tak hanya menghampiri orangtua di ruang-ruang keluarga, tapi juga di level kebijakan. Entah mana yang hendak direspons lebih awal, sebab ada banyak hal menantang untuk memberikan pendidikan bermutu bagi semua warga. Namun, pemerintah tampak galau dan kesulitan memunculkan prioritas dan substansi utama tentang pendidikan. Tak mengherankan jika kini kita disuguhkan tawaran kebijakan pendidikan yang masih mengawang, dan tampak belum selesai didiskusikan di meja pembuat kebijakan secara saksama.

Kita disuguhkan soal urgensi hadirnya Ujian Nasional, Sekolah Unggulan Garuda, Sekolah Rakyat, dan PPDB zonasi diganti dengan sistem penerimaan murid baru (SPMB). Beberapa rencana kebijakan tampak masih jadi konten yang didiskusikan dan diperdebatkan di meja-meja kerja pembuat kebijakan. Namun, kita diajak ikut sibuk dan berpretensi atas berbagai kebijakan tersebut, yang tentu saja sangat berdampak pada hajat hidup orang banyak di negeri ini.

Akhirnya banyak orangtua ikut gelisah, memikirkan kira-kira apa yang akan dihadapi oleh anak-anak di ruang-ruang kelas ketika ragam kebijakan baru lahir. Guru juga gelisah, sebab mereka yang berhadap-hadapan langsung dengan para siswa memaparkan muatan kurikulum baru yang berubah.

Keempat, kemampuan pemerintah mengeksekusi kebijakan menjadi aksi. Begitu pentingnya pendidikan bagi anak-anak bangsa sebab pendidikan menjadi ruang untuk membangun nilai-nilai, harapan-harapan, kemampuan bersolidaritas, hubungan personal kemanusiaan, spirit egalitarian, dan keadilan sosial (Giroux, 2014). Namun, tentu saja, hingga kini kita masih menghadapi ragam paradoks yang menantang tujuan-tujuan ideal tersebut. Jika hal-hal tersebut tak dapat digenapi pendidikan, kekacauan akan terjadi di masa depan. Saat ini saja kita menyaksikan betapa orang-orang cemerlang yang lahir dari pendidikan justru jadi pihak pertama yang merusak kehidupan dengan tindakan-tindakan yang beringas dan niradab.

GELAP

Gelap bangsa ini jika kemudian kita tak berhasil menantang dan menang terhadap paradoks yang menghantui pendidikan mulai dari ketidaksetaraan hingga perundungan di ruang-ruang pendidikan. Ruang aman dan nyaman pendidikan, sebagai lokus perlindungan bagi anak-anak bangsa meraih segenap mimpinya, tentu saja harus terus dijaga sepenuh jiwa dan raga.

Kebijakan pendidikan yang berpihak kepada yang tak berpunya sangat penting agar anak-anak tersebut tidak merasa tersendiri menghadapi keresahan-keresahan hidup yang tengah dihadapi. Pada titik ini sudah sangat jelas bahwa tujuan pendidikan ialah menguatkan mereka yang rapuh dan terpinggirkan.

Di luar konteks pendidikan dalam ruang pendidikan formal dan nonformal, kebijakan lain pemerintah terkait dengan kebijakan politik dan ekonomi juga sangat berpengaruh pada pendidikan. Dalam kurun minggu-minggu ini, misalnya, pemotongan anggaran, termasuk pendidikan, tentu saja jika tidak diperhatikan secara saksama akan mengganggu laju realisasi kebijakan. Juga misalnya saja kebijakan tentang hak para dosen terkait dengan tunjangan kinerja yang belum direalisasikan hingga saat ini, tentu sangat berpengaruh juga pada gerak pendidikan di negeri ini.

Akomodasi pemerintah untuk mengurai benang kusut dibutuhkan, sebab mereka memang diberi mandat oleh konstitusi untuk memberikan hak-hak pendidikan kepada setiap anak bangsa. Mengimplementasikan kebijakan yang dirasakan oleh anak bangsa menjadi penting. Apalagi hasil pendidikan tak pernah instan.

Jika merujuk pada negara-negara maju, reformasi pendidikan mereka menempuh waktu puluhan tahun, dilakukan dengan terencana, tekun, dialogis dan partisipatif, serta berpijak pada riset. Lalu, mengapa kita tampak selalu terburu-buru, dan akhirnya seperti berputar dan tersesat di dalam labirin pendidikan yang sama bertahun-tahun?

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |