
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) membuka peluang untuk menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang di PT Pertamina, Subholding, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023. Pasalnya, kerugian negara ditaksir mencapai Rp193,7 triliun.
Pengenaan TPPU itu bisa dilakukan untuk memulihkan kerugian negara dan melacak aset. Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan saat ini pihaknya masih mendalami keuntungan yang didapat para tersangka.
"Penyidik sekarang sedang fokus terhadap pasal persangkaan yang sudah ditetapkan, ditentukan. Nah, bahwa misalnya ada fakta nanti yang menjelaskan para tersangka ini menikmati, ya semua kemungkinan itu terbuka," kata Harli di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (7/3).
Sembilan tersangka dalam praktik rasuah di perusahaan pelat merah tersebut ialah Riva Siahaan (RS), selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin, selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi (YF), selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.
Kemudian, Agus Purwono (AP), selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International; Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
Gading Ramadhan Joedo (GRJ), selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak. Kemudian, Maya Kusmaya (MK), selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga; dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations.
Praktik rasuah ini berawal dari pemenuhan minyak minyak dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan pertamina wajib mencari pasokan minyakbumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Namun, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang.Sehingga, produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Akibatnya, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.
Kejagung menyebut total kerugian negara dalam perkara korupsi ini mencapai Rp193,7 triliun. Rinciannya, kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
Selain itu kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. (Yon/P-2)