Teknologi Nyamuk Ber-Wolbachia Harapan Baru Hadapi Lonjakan DBD

5 hours ago 1
Teknologi Nyamuk Ber-Wolbachia Harapan Baru Hadapi Lonjakan DBD Nyamuk Aedes Aegypti(AFP/Luis ROBAYO)

PENINGKATAN kasus demam berdarah dengue (DBD) saat musim hujan menjadi perhatian utama Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Salah satu upaya pencegahan yang mulai diterapkan adalah teknologi nyamuk ber-wolbachia, yang terbukti mampu menekan penyebaran virus dengue.

Menanggapi hal tersebut, Ahli Entomologi IPB University Prof Upik Kesumawati Hadi mengatakan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sebenarnya telah dimanfaatkan di beberapa negara.

Pemanfaatan ini dalam rangka untuk menurunkan kasus demam dengue seperti yang dilakukan Australia, Vietnam, Brasil, Kolombia, Honduras, El Salvador, dan Singapura.

"Sementara itu di Indonesia, kisah sukses pemanfaatan teknologi tersebut telah dilaporkan dari Yogyakarta. Hasilnya dapat menurunkan 77% kasus demam dengue dan menurunkan potensi rawat inap hingga 86% pada 2022," ucapnya.

MI/HO--Ahli Entomologi IPB University Prof Upik Kesumawati Hadi

Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB University itu melanjutkan, teknologi nyamuk ber-wolbachia juga telah direkomendasikan oleh Vector Control Advisory Group (VCAG) WHO pada 2023 sebagai satu di antara metode dalam menangani kasus DBD.

Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa teknologi nyamuk ber-wolbachia aman untuk diterapkan sebagai satu di antara metode penanganan demam dengue di Indonesia.

"Sebagai pilot project, saat ini, pemerintah kita telah menetapkan lima kota di Indonesia, yaitu Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT), untuk menerapkan teknologi penyebaran nyamuk ber-wolbachia. Bagaimana hasilnya tentunya kita tunggu paling tidak dalam satu sampai dua tahun ke depan," tuturnya.

Lebih dalam, Prof Upik menjelaskan wolbachia dalam tubuh nyamuk Aedes. aegypti dapat memblok replikasi (perkembangbiakkan) virus dengue.

Bakteri wolbachia bekerja dengan cara mengambil sumber makanan untuk perkembangan virus dengue. Dengan demikian, virus tersebut kesulitan untuk berkembang biak.

"Akibatnya, nyamuk yang mengandung wolbachia, tidak mampu lagi untuk menularkan virus dengue ketika menghisap darah orang yang terinfeksi virus dengue. Proses inilah yang kemudian dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai teknologi alternatif untuk mengurangi kemampuan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penular virus dengue," ungkapnya.

Menurut para ahli, lanjut Prof Upik, teknologi nyamuk ber-wolbachia ini bukanlah rekayasa genetik. Pasalnya, nyamuk lahir dari telur-telur yang sebelumnya sudah diintervensi oleh bakteri wolbachia. Metode ini juga tidak melibatkan modifikasi genetik nyamuk Ae. aegypti maupun bakteri wolbachia.

Meskipun demikian, hasil dari penyebaran nyamuk wolbachia tidak dapat dirasakan langsung, baru akan dirasakan paling tidak 1-2 tahun setelah pelepasan nyamuk tersebut dilakukan.

"Karena populasi nyamuk ber-wolbachia yang tersebar di daerah intervensi belum mencapai populasi yang ideal, yaitu sekitar 60% di alam bebas. Apabila hal ini sudah tercapai maka intervensi pelepasan nyamuk ber-wolbachia dihentikan," tuturnya.

Selanjutnya, Prof Upik membeberkan, secara alami, nyamuk ber-wolbachia akan bereproduksi secara alami sampai akhirnya seluruh populasi dengan sendirinya mencapai 100% ber-wolbachia (proses replacement).

Oleh karena itu, teknologi pelepasan nyamuk be-wolbachia tidak langsung dapat membebaskan masyarakat dari infeksi demam dengue.

"Tetap saja upaya yang utama untuk pencegahan dan pengendalian virus dengue, yaitu dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, agar siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terputus," ujarnya.

Prof Upik mengungkapkan, sejauh ini, program pemerintah yang telah ada sejak dulu tetapi kurang popular di masyarakat, yaitu Gerakan 3M plus. 

Gerakan ini adalah menguras, menutup, dan mendaur ulang sampah. Plusnya adalah upaya perlindungan diri (personal protection) untuk mencegah gigitan nyamuk yang dilakukan oleh masing-masing individu.

"Gerakan 3M plus sebenarnya sangat efektif, murah, dan mudah dilakukan. Masalahnya orang enggan melakukannya," ucapnya.

Prof Upik melanjutkan, ada juga Gerakan 1 rumah 1 jumantik (G1R1J) tetapi juga sama nasibnya dengan 3M plus. Jadi tidak heran kalau sepanjang tahun selalu terjadi kasus demam dengue dan pada musim hujan terjadi lonjakan kasus.

"Saat ini teknologi nyamuk ber-wolbachia telah diterapkan di lima kota, dan tidak tertutup kemungkinan akan diperluas apabila hasilnya memuaskan. Namun demikian, tetap saja upaya penerapan Gerakan 3M plus G1R1J harus dijalankan agar mencapai hasil maksimal," tutupnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |