Tanpa UU AI, Indonesia Hanya Jadi Konsumen Teknologi

4 hours ago 2
Tanpa UU AI, Indonesia Hanya Jadi Konsumen Teknologi Ilustrasi(Freepik)

SEJUMLAH negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Brasil, Kanada, dan Jepang telah lebih dahulu menyusun atau tengah merancang regulasi khusus terkait kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Langkah ini mencerminkan keseriusan mereka dalam menghadapi tantangan dan risiko yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi AI.

Di tengah ketiadaan regulasi serupa di Indonesia, Guru Besar Ilmu Kecerdasan Buatan IPB University Prof Yeni Herdiyeni menegaskan bahwa Indonesia perlu segera menyusun Undang-Undang (UU) khusus yang mengatur pengembangan dan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan. 

Desakan ini disampaikan menyusul pesatnya perkembangan teknologi AI serta risiko-risiko yang menyertainya, seperti disinformasi, kesalahan algoritma, hingga potensi ancaman terhadap ketahanan nasional.

"Undang-undang itu perlu, karena ini produk teknologi yang bisa berdampak positif dan negatif," ujar Prof Yeni, yang kini menjabat Ketua Program Studi Kecerdasan Buatan IPB University saat diwawancarai.

Ia mencontohkan bagaimana teknologi AI telah digunakan dalam konflik global, serta disalahgunakan dalam konteks politik, seperti pada pemilu, untuk memanipulasi opini publik melalui bot dan penyebaran disinformasi.

Menurutnya, jika regulasi ini terus ditunda, Indonesia akan semakin tertinggal dan hanya menjadi pasar konsumen teknologi AI dari luar.

"Kalau dilihat dari sisi kebijakan pemerintah saat ini mulai dari pendidikan dasar dan menengah akan diberi materi tentang AI. Perlu kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan dan arah pendidikan," sebutnya.

Menurutnya, yang diperlukan oleh generasi muda adalah mengembangkan pemikiran kritis/critical thinking dan mengembangkan kemampuan kognitif yang baik. 

"Jangan sampai kita hanya diposisikan sebagai pengguna teknologi AI tanpa adanya pengembangan kognitif yang kuat dalam berpikir," tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa belum adanya undang-undang AI membuka celah bagi penyalahgunaan data. 

"Kalau tidak ada undang-undangnya, akan sulit jika ada pihak yang mengumpulkan data tanpa persetujuan pemiliknya dan menggunakannya untuk mengembangkan model AI. Mau dijerat dengan apa? Ini beda dengan UU ITE. UU-AI memastikan bahwa inovasi yang dikembangkan harus bertanggung jawab," ujarnya.

Prof Yeni menilai sektor politik sebagai sektor yang paling rentan terhadap penyalahgunaan AI. 

"Banyak chatbot di media sosial yang memengaruhi opini publik, padahal itu bukan suara manusia," jelasnya.

Sementara di sektor pendidikan, meski ada pelanggaran seperti plagiarisme berbasis AI, rambu-rambu penanganannya relatif lebih tertata. 

"IPB University sedang memfinalisasi panduan penggunaan AI untuk akademik, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Namun, pemerintah perlu menyiapkan UU-AI agar semua institusi punya acuan seragam," sarannya.

Dalam perannya sebagai akademisi, Prof Yeni menjelaskan bahwa perguruan tinggi seperti IPB University dapat turut serta dalam menyusun kerangka hukum dan etika AI. 

"Kami dapat berkontribusi dalam literasi, baik kurikulum, pelatihan dosen, maupun edukasi publik. Selain itu, lewat penelitian dan kerja sama dengan industri, kami bisa bantu rumuskan etika penggunaan AI, termasuk isu privasi data dan dampak sosialnya," ungkapnya.

Ia berharap pemerintah dapat bekerja sama dengan kampus-kampus yang memiliki kompetensi dalam bidang ini. 

"Pemerintah bisa menggandeng kampus untuk merumuskan etika pengembangan AI, privasi data, dan kebijakan terkait," pungkasnya.

Dengan seruan ini, Prof Yeni Herdiyeni berharap pemerintah dapat segera menyusun UU AI secara komprehensif dengan melibatkan para akademisi. 

Tujuannya agar Indonesia tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga pengembang teknologi AI yang bertanggung jawab dan bermanfaat bagi masyarakat. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |