
PAKAR hukum tata negara (HTN) Bivitri Susanti mengatakan penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto bukan kebencian secara personal.
Bivitri mengungkap penolakan tersebut adalah relasi antara warga dengan negara yang hingga kini masih terganjal persoalan hukum yang belum selesai oleh orang yang akan dijadikan pahlawan nasional oleh pemerintah.
"Ini bukan kebencian personal, tapi ini soal hukum dan catatan sejarah bangsa ini. Sebagai orang-orang yang belajar hukum tata negara, kami belajar bahwa bahkan amandemen konstitusi yang sekarang bikin kita bisa punya presiden cuma dua periode, dulu Soeharto 32 tahun, 7 kali dia dipilih lagi, sekarang cuma 2 kali maksimum," ujar Bivitri kepada awak media di depan kantor Kemensos, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (15/5).
Ia menjelaskan, bahkan reformasi yang sudah susah payah dicapai Indonesia pasca 32 tahun Soeharto berkuasa, kini dipaksa putar balik kembali. Puncaknya, Bivitri menegaskan, dengan rencana memberikan gelar pahlawan untuk Presiden kedua tersebut.
"Kita punya Mahkamah Konstitusi, seberapapun kita sering kritik tapi bisa ada forum buat kita menchallenge Undang-Undang ITE, menchallenge Undang Presidential Threshold bahkan kita turun ke jalan waktu peringatan darurat karena waktu itu ada keputusan MK yang bagus yang membongkar praktik-praktik cacat politik," bebernya.
"Kemudian penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, otonomi daerah. Semua sekarang sedang dibalik, demokrasi Indonesia lagi jadi putar balik. Dan salah satu titik puncaknya adalah ketika orang yang dulu membuat (itu), kalau istilah politiknya itu political opportunity untuk bikin kita jadi seperti yang sekarang, bahkan mau dijadikan pahlawan, bayangkan," sambung Bivitri yang akrab disapa Bibiv itu.
Ia mengingatkan bahwa Soeharto tidak bisa dan tidak boleh menjadi pahlawan. Dengan menjadikan Soeharto pahlawan, artinya menghilangkan fondasi dari perjalanan politik dan tata negara yang selama ini sudah dialami Indonesia selama 27 tahun sejak reformasi.
"Seperti ibaratnya reformasi adalah apa yang kita injek nih, mau dilunturkan dengan menjadikan Soeharto pahlawan, kita semua akan jatuh, rusak semua reformasinya," pungkasnya. (Far/P-2)