Sidang Gugatan UU TNI, Ahli Hukum: Proses Legislasi Cacat Prosedural dan Minim Partisipasi

5 hours ago 4
 Proses Legislasi Cacat Prosedural dan Minim Partisipasi Gedung Mahkamah Konstitusi(Dok.MI)

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI dengan agenda mendengarkan keterangan para ahli dan saksi pemohon. Terdapat lima perkara yang diujikan yakni Nomor 45, 56, 69, 75, dan 81/PUU-XXIII/2025. 

Ahli pemohon yang merupakan pakar hukum sekaligus Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi memaparkan terkait proses legislasi UU TNI yang cacat prosedural dan jauh dari prinsip konstitusional. 

Fajri mengatakan pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI (UU TNI) membantah klaim pemerintah dan DPR terkait RUU TNI dapat dibahas karena berstatus sebagai RUU kumulatif terbuka. Menurutnya, dokumen resmi DPR tidak mencantumkan RUU TNI dalam kategori kumulatif terbuka. 

“Jika sejak awal RUU TNI memang masuk dalam RUU kumulatif terbuka, maka tidak perlu lagi ada pengambilan keputusan dalam rapat paripurna untuk memasukkan RUU TNI dalam perubahan Prolegnas 2025 yang dilakukan pada 18 Februari 2025,” jelas Fajri di ruang rapat Pleno MK, hari ini.

Lebih lanjut, Fajri juga menyoroti bahwa pembentukan UU TNI juga tidak melalui tahap penyusunan secara sah. “Dokumen keterangan Presiden menyebut empat tanggal sebagai tahapan penyusunan RUU, namun tiga di antaranya terjadi pada masa DPR periode 2019–2024,” jelasya. 

Selain tidak melalui perencanaan yang sah, Fajri menilai proses pembahasan RUU TNI tidak melewati tahap penyusunan secara prosedural. PSHK, kata dia, telah mengeluarkan enam siaran pers sejak awal Maret 2025 untuk mengingatkan pemerintah dan DPR, namun seluruhnya diabaikan. 

Ia menyebut bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan yang dijamin dalam pembentukan perundang-undangan.

“Berdasarkan dokumen keterangan Presiden yang dijadikan bukti oleh pemerintah, disebutkan bahwa tahap penyusunan dilakukan pada empat tanggal, yakni 28 Mei, 2 Juli, 11 Juli 2024, dan 13 Februari 2025,” jelasnya. 

Namun, menurut Fajri, tiga dari empat tanggal tersebut masih berada dalam periode DPR sebelumnya (2019–2024), bukan periode saat ini.

Lebih lanjut, Fajri menekankan bahwa proses revisi UU TNI juga tidak membuka ruang partisipasi publik memadai yang seharusnya dijamin dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Atas dasar itu, Fajri menyimpulkan bahwa proses pembentukan RUU TNI melanggar tahap perencanaan penyusunan. Ia juga menilai pembahasannya tidak memperhatikan akses keterbukaan yang berdampak pada hilangnya partisipasi yang bermakna. 

“Semua aspirasi itu tidak didengar dan dilakukan, DPR dan Presiden lebih memilih untuk segera mengesahkan undang-undang tersebut tanpa mendengarkan protes dari publik,” jelasnya.


Perjelas Posisi RUU TNI 

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan pendapat ahli terkait produk RUU yang masuk dalam sistem kumulatif terbuka. Menurutnya, RUU yang masuk dalam kategori kumulatif terbuka memang tidak dicantumkan dalam Prolegnas. 

Ia menjelaskan RUU kumulatif terbuka muncul di luar Prolegnas karena sifatnya yang mendesak dan penting untuk segera dibahas seperti tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi, pemekaran wilayah, atau pengesahan perjanjian internasional

“Saya pernah ada di DPR dua periode. Kumulatif terbuka itu tidak dicantumkan di prolegnas, tetapi kemudian disepakati tentu antara pembentuk undang-undang DPR dan pemerintah bahwa tahun ini akan dibahas. Namun kemudian, dalam prosesnya itu tentu berlaku juga tahapan-tahapan seperti RUU yang ada di prolegnas Prioritas,” katanya. 

Selain itu, Arsul juga meminta kepada pihak Presiden dan DPR selaku termohon agar mempertegas posisinya terkait apakah RUU TNI masuk sebagai RUU kumulatif terbuka atau justru masuk sebagai RUU prioritas tahun 2025. 

“Tekanannya lebih ke yang mana? supaya mahkamah lebih bisa memberikan penilaian pada soal aspek tersebut. DPR dan Presiden harus tegas posisinya dalam meletakkan RUU TNI ini sebagai prolegnas prioritas atau kumulatif terbuka karena ada konsekuensi yang berbeda,” jelasnya. 

Pada kesempatan yang sama, Hakim Saldi Isra juga mempertanyakan rekaman proses persidangan dalam pembentukan RUU TNI untuk memperjelas berapa jumlah klausul uang diubah. 

“Karena ini ada pendapat yang berbeda, katanya 3 pasal yang diubah, ada yang katanya 5 pasal, ada yang katanya 7 pasal, tapi kalau kami diberi rekaman itu, akan bisa membantu untuk soal mengetahuinya,” tukasnya. (Dev/P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |