Save Soil, Gerakan Menjaga Tanah Sebagai Fondasi Sumber Kehidupan

14 hours ago 3
Save Soil, Gerakan Menjaga Tanah Sebagai Fondasi Sumber Kehidupan UGM menggelar forum publik bertajuk Save Soil Movement: Sahil Cycling Across Four Continents.(UGM)

Di tengah ketidakpastian krisis iklim, meningkatnya harga pangan, musim panen yang tak menentu, dan gelombang panas yang kian ekstrem, satu elemen mendasar justru kerap terabaikan, yaitu tanah. Dalam forum publik bertajuk Save Soil Movement: Sahil Cycling Across Four Continents di Universitas Gadjah Mada (UGM), disampaikan bahwa tanah tak lagi dipandang sekadar media tanam, tapi sebagai fondasi keberlangsungan hidup dan benteng terakhir ketahanan pangan.

Kepala Biro Manajemen Strategis UGM, Wirastuti Widyatmanti, mengenang pertemuannya dengan perwakilan Save Soil di COP29 Azerbaijan, yang menjadi titik awal kolaborasi ini.

“Ketika berbicara tentang tanah, sesungguhnya kita sedang membicarakan sumber kehidupan. Tanah adalah fondasi dari hutan, pertanian, dan seluruh sistem pangan yang menyuplai udara bersih, oksigen, dan ketahanan pangan,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Sabtu (14/6).

Wirastuti juga menegaskan bahwa UGM tidak bisa berdiam diri. “Save Soil adalah gerakan penting. Melalui soil security, kita menjaga sumber daya tanah dunia, yang juga berarti menjaga masa depan bumi,” lanjutnya.

Suara yang senada disampaikan oleh Chief Science & Technology Officer Save Soil, Praveena Sridhar. Ia menjabarkan bahwa tanah yang sehat berfungsi seperti spons alami yang menyerap air dan menstabilkan suhu, sehingga mampu menahan efek gelombang panas dan kekeringan ekstrem.

“Tanah adalah jawaban dari banyak pertanyaan yang kita miliki hari ini. Mengapa kita gagal menjaga ketahanan pangan, mengapa suhu bumi makin ekstrem, dan mengapa desa-desa kehilangan hasil panennya,” kata Praveena.

Praveena lebih lanjut menjelaskan, tanah yang sehat memiliki kemampuan unik menyerap dan menyimpan air, serta menjaga stabilitas iklim mikro. Namun, degradasi tanah yang meluas telah menghancurkan kapasitas ini. Di Indonesia, yang lebih dari 30 persen lahannya digunakan untuk pertanian oleh petani kecil, ancaman rusaknya tanah bisa berujung pada krisis pangan sistemik.

“Jika tanah tak lagi mampu mengikat air dan unsur hara, maka pupuk tak akan berguna. Benih unggul pun gagal tumbuh. Di sinilah sumber krisis pangan itu sesungguhnya,” ujar Praveena.

Acara ini juga menghadirkan Sahil Jha, pemuda asal India yang menempuh perjalanan bersepeda melintasi empat benua untuk menggaungkan isu penyelamatan tanah. 

“Tanah bukan hanya bagian dari bumi. Tanah adalah bagian dari setiap kita. Ia adalah fondasi dari setiap makanan yang kita konsumsi. Generasi muda punya peran penting untuk menyuarakan ini sebelum semuanya terlambat,” kata Sahil.

Dari Indonesia, aktris dan aktivis lingkungan Raline Shah tampil dengan suara yang lebih personal. Ia menekankan bahwa isu tanah terlalu sering dilihat sebagai masalah teknis pertanian, padahal sesungguhnya menyangkut hajat hidup semua orang.

“Setiap piring makanan kita adalah hasil dari tanah. Ketika tanah rusak, makanan menjadi langka, gizi terganggu, kesehatan masyarakat ikut terancam, stabilitas ekonomi dan sosial juga terancam,” ujar Raline.

Guru besar Fakultas Pertanian UGM, Benito Heru Purwanto, menyambung pesan ini dari sisi ilmiah. Ia menyebut bahwa kerusakan tanah bukanlah bencana instan, melainkan kehancuran diam-diam yang nyaris tak terlihat. 

“Tanah yang rusak tidak pulih dalam hitungan bulan atau tahun. Ia butuh waktu ratusan tahun. Itulah mengapa pencegahan jauh lebih penting dari restorasi,” katanya.

Gerakan Save Soil tak hanya mengampanyekan kesadaran, tetapi mendorong kolaborasi antara universitas, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk menyusun peta jalan penyelamatan tanah. Di Indonesia, upaya ini juga bersinggungan langsung dengan pencapaian komitmen G20 untuk mengurangi lahan terdegradasi hingga 50% pada 2050. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |