
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan dasar negeri, termasuk swasta, tanpa dipungut biaya atau gratis akan dimasukkan ke Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) perlu ditelaah lebih lanjut.
Pasalnya, putusan ini dikatakan lebih berfokus kepada perlindungan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminatif.
“Jadi pemerintah daerah wajib menyediakan bangku sekolah sejumlah calon peserta didik. Katakanlah, menurut data pemerintah yang mau masuk sekolah ini jumlahnya anak seribu. Tugas pemerintah adalah memastikan seribu anak ini kebagian bangku sekolah. Nah, maka harus dihitung sekolah negeri bangkunya bisa menampung berapa,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Rabu (28/5).
“Misalnya sekolah negeri cuma bisa menampung 300, kan berarti kurang 700 bangku nih. Nah, 700 bangku ini harus disediakan oleh pemerintah daerah dengan bekerja sama dengan sekolah swasta. Sekolah swasta yang seperti apa yang diajak kerja sama dengan pemerintah yaitu harus negosiasi bekerja sama dengan pemerintah daerah. Bahwa ada sekolah swasta yang enggak mau nerima dana BOS, enggak mau kerja sama dengan pemerintah, mau berdiri sendiri, ya enggak apa-apa,” lanjut Ubaid.
Lebih lanjut, menurutnya putusan ini bukan untuk mengatur seluruh sekolah swasta. Tapi untuk dipraktikkan di sekolah-sekolah yang standarnya, pembiayaannya, dan kualitasnya mengikuti pemerintah.
“Itu yang diajak kerja sama untuk menampung jumlah anak yang tidak tertampung di sekolah negeri. Tapi ada sekolah swasta yang ingin kurikulumnya mandiri, pembiayaan mandiri, tidak mau menerima BOS, enggak mau nerima bantuan pemerintah, ya enggak apa-apa,” tuturnya.
Dalam kesempatan ini, Ubaid juga menegaskan bahwa putusan ini tidak bisa hanya dialamatkan kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tapi kepada Presiden selaku Kepala Negara.
"Putusan MK ini adalah perintah langsung kepada negara untuk menjamin hak dasar pendidikan anak dan dalam struktur negara kita, pemegang kunci implementasi perintah konstitusi ini adalah Presiden Republik Indonesia. Ini bukan hanya tugas Kemendikdasmen, karena Kemendikdasmen sendiri adalah kementerian dengan pengelolaan anggaran yang relatif kecil dibandingkan total anggaran pendidikan negara,” tegas Ubaid.
Dia pun menambahkan bahwa fakta di persidangan menunjukkan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD sesungguhnya lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta.
Namun, selama ini, anggaran tersebut terpecah dan dikelola oleh puluhan kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, menyebabkan inefisiensi dan salah sasaran.
“Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran ini,” jelas Ubaid.
Selain itu, menurutnya mengubah skema pembiayaan pendidikan dan mengintegrasikan sekolah swasta ke dalam sistem bebas biaya memerlukan koordinasi lintas kementerian yang kuat. Ini melibatkan Kementerian Keuangan untuk realokasi anggaran masif, Kementerian Dalam Negeri untuk sinkronisasi kebijakan di daerah, hingga kementerian lain yang selama ini juga mengelola dana pendidikan. Koordinasi dan keputusan strategis selevel ini hanya bisa dipimpin oleh Presiden.
Implementasi putusan MK juga dikatakan memerlukan payung hukum turunan yang kuat seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Proses pembentukan regulasi ini berada di bawah kendali Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanpa arahan tegas dari Presiden, regulasi ini bisa tertunda atau tidak efektif.
“Sejarah menunjukkan bahwa perubahan fundamental di sektor publik membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemimpin tertinggi. Tanpa komitmen politik yang jelas dari Presiden, putusan MK ini berisiko menjadi sekadar teks hukum tanpa dampak nyata di lapangan,” urainya.
Ubaid menekankan bahwa putusan MK ini adalah penegasan terhadap amanat Konstitusi UUD 1945 tentang hak setiap warga negara atas pendidikan. Sebagai kepala negara, Presiden memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral tertinggi untuk memastikan hak ini terpenuhi tanpa hambatan biaya. Rakyat Indonesia menantikan kepemimpinan Presiden untuk mewujudkan janji konstitusi ini secara nyata.
“JPPI mendesak Presiden untuk segera mengambil sikap tegas dan menerbitkan kebijakan yang konkret. Ini adalah kesempatan emas bagi beliau untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat dan mewujudkan keadilan pendidikan yang telah lama dinantikan,” pungkas Ubaid. (H-1)