
DALAM potret keluarga bahagia, anak-anak mendapatkan segala kebutuhan mereka sebagai manusia. Di ruang keluarga, mereka mendapatkan perhatian memadai, baik dari segi materi maupun nonmateri. Mereka tak khawatir soal makanan yang dikonsumsi, pakaian yang digunakan, ataupun biaya pendidikan untuk sekolah. Bakat yang dimiliki dioptimalkan melalui pengasuhan dan pendidikan yang tepat.
Dalam berbagai poin, keluarga bahagia juga sering dinarasikan sebagai hal pokok yang perlu ada di ruang aktual masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam beberapa kesempatan disampaikan bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga.
Akan tetapi, apakah saat ini keluarga-keluarga di Indonesia ada pada posisi yang diidamkan tersebut? Nyatanya, keluarga bahagia bukan hal yang mudah diwujudkan. Saya membaca berbagai kasus yang mencuat di koran, media daring, ataupun media sosial, nyatanya apa yang diharapkan tak selalu sesuai dengan realitas.
Ada persoalan kekerasan di keluarga, kesehatan mental, ekonomi, dan keretakan hubungan serta berbagai hal lain yang menjadi tantangan bagi pemenuhan potret keluarga ideal yang selalu dibayangkan masyarakat. Kondisi yang tentu sangat berpengaruh pada kondisi anak-anak Indonesia kini.
Persoalan ekonomi, misalnya, sering mengemuka sehingga menjadi momok bagi ketahan keluarga kini. Jika menilik kondisi ekonomi, Bank Dunia misalnya menyebutkan pada tahun 2024 lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Adapun berdasarkan data BPS, per September 2024 terdapat 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa. Ada perbedaan angka, sebab menurut penjelasan BPS terdapat standar garis kemiskinan dan tujuan yang berbeda, tetapi sangat jelas kemiskinan penduduk bukan sekadar fiksi belaka. Artinya, pergulatan keluarga Indonesia dalam konteks ekonomi menjadi salah satu hal yang tak terelakan.
KUALITAS PENDUDUK
Kondisi tersebut tentu memengaruhi kualitas penduduk dalam mengakses berbagai kebutuhan kehidupan, termasuk pengasuhan dan pendidikan anak-anak di setiap keluarga. Dengan penghasilan yang kurang memadai maka sudah sangat jelas memengaruhi pola konsumsi, pengasuhan, juga pendidikan anak-anak. Perjuangan keluarga miskin sudah pasti berlipat ganda jika dibandingkan dengan keluarga yang lebih mapan.
Kita bayangkan saja situasi keluarga di pagi hari. Di keluarga yang memiliki kemampuan finansial memadai, maka sebelum berangkat ke sekolah anak-anak sudah sarapan dengan gizi yang memadai. Mereka disiapkan bekal ataupun uang jajan yang cukup agar dapat menempuh hari yang padat dengan energi yang kokoh. Untuk berangkat ke sekolah tak perlu khawatir sebab orangtua sudah menyiapkan kendaraan yang nyaman. Anak-anak tak memiliki kekhawatiran dan dapat fokus untuk belajar di sekolah. Sepulang sekolah sudah ada rangkaian kursus, les, dan peningkatan keterampilan untuk menghadapi hidup yang serba-kompetisi.
Sementara itu, dalam situasi yang timpang, anak-anak dari keluarga yang serba-kurang menghadapi situasi yang kontras. Belum tentu ada sarapan di pagi hari sebab semua harga kebutuhan pokok terus menanjak. Sebab orangtua sibuk bekerja, mereka berangkat dengan berjalan kaki, naik angkutan umum, atau ikut menumpang dengan teman. Pulang sekolah, sebab tak ada pengawasan memadai, mereka berkeliling ke banyak tempat.
Situasi yang terjadi memang tidak selalu dikotomis, sebab dalam ruang faktual, ada ruang-ruang di mana anak-anak tetap tidak mendapatkan kasih memadai dari keluarga meskipun mereka dari keluarga yang tak kekurangan secara finansial. Juga ada anak-anak dari keluarga tak berpunya secara materiel, tetapi kaya secara kasih.
Dalam ruang faktual, kompleksitas keadaan keluarga pasti memiliki lapisan yang berbeda-beda, tak selalu berkorelasi dengan kondisi ekonomi semata. Ada multivariabel yang perlu diamati ketika bicara kondisi anak-anak di ruang keluarga.
Akan tetapi, poin utamanya ialah dalam konteks kesempatan, anak-anak dari keluarga tak mampu menghadapi tantangan kehidupan semakin berlipat, bahkan dalam situasi harian. Apalagi di situasi pendidikan yang semakin komersial di mana berbagai kebutuhan kehidupan sangat bergantung pada kemampuan finansial.
Bukan rahasia, meskipun secara normatif negara berpihak kepada kelompok marginal, di ruang faktual hak pendidikan, kesehatan, kesejahteraan bukan sesuatu yang otomatis diraih, melainkan negosiasi alot yang harus diperjuangkan (Berenschot dan van Klinken, 2018; van Klinken, 2018).
BEBAN PADA KELUARGA
Apalagi semakin terlihat betapa pendidikan di Indonesia juga, seperti yang sering dijelaskan dalam konteks teori modal manusia, kemudian dibebankan pada pilihan individu. Sebab, pada akhirnya pengembangan diri seseorang atau bagaimana seseorang berkembang akan sangat bergantung pada pilihan pribadi atau keluarga yang dibatasi pada kemampuan diri atau teknologi yang tersedia, serta sangat bergantung pada sumber daya yang dimiliki keluarga (Bowles dan Gintis, 1975). Penjelasan tersebut sangat bisa dilihat pada ruang keluarga di Indonesia. Peluang, risiko, keberuntungan yang dimiliki oleh anak-anak Indonesia akhirnya sangat bergantung pada kondisi keluarga.
Dalam konteks hari ini, membesarkan anak pun pada akhirnya diselimuti oleh ragam kekhawatiran. Sebab semua hal membutuhkan biaya yang besar. Menemani anak tumbuh hingga mereka tumbuh dewasa menghabiskan sumber daya materi dan nonmateri yang semakin besar. Fokus pada anak artinya memperhatikan segala kebutuhannya yang dibutuhkan agar mereka sehat secara jasmani dan batin. Mau mendengar keluh kesah anak dan tahan berdialog dengan anak-anak di ruang keseharian pun bukan perkara mudah. Ada kegelisahan yang menyelimuti orangtua dalam menemani anak-anak kini.
Orangtua seperti harus bertarung setiap hari, dalam pertarungan yang sering kali tidak berhasil dimenangkan. Dalam konteks keluarga miskin, pertarungan hidup pun lebih keras sebab bahkan seakan dunia tak berpihak kepada mereka. Di era komodifikasi pendidikan, untuk meraih pendidikan yang berpihak kepada mereka bukan perkara mudah. Bobot pengetahuan dan keterampilan yang diraih selama mereka bersekolah sering kali tak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Bersekolah tak selalu membuat mereka mampu menyerap kearifan kehidupan dan memudahkan untuk mengarungi transisi ke dunia pekerjaan, sebab tak semua beruntung memiliki guru yang mampu membimbing menghadapi masa depan sebagai sosok pembimbing transformasi kultural (Buchori, 2011).
Potret ketimpangan pendidikan hadir untuk dicarikan solusinya oleh negara. Di ruang aktual, misalnya, kita tentu berharap Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024 dapat menjamin hak pendidikan dasar tanpa diskriminasi. Meski kita sadar, dalam implementasinya, sudah kadung ruwet untuk mampu mewujudkan putusan tersebut. Akan tetapi, jika ingin meminimalkan ketimpangan di masyarakat, salah satu titik krusial ialah memangkas ketimpangan pendidikan yang sangat nyata terlihat di masyarakat.