Perundungan masih Menghantui Anak Indonesia

1 day ago 4

TANGGAL 23 Juli bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN). Penulis melihat bahwa HAN seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan hanya perayaan semata. Salah satu persoalan yang paling mengakar dan mengancam dunia anak adalah masalah bullying (perundungan). Sayangnya, hingga kini belum terlihat langkah konkret untuk menghentikan praktik perundungan di lingkungan anak. 

Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada tahun 2024 melonjak drastis menjadi 573 kasus, dengan 31% (sekitar 178 kasus) berkaitan langsung dengan perundungan. 

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa dari 141 aduan kekerasan terhadap anak sepanjang awal tahun 2024, 35% terjadi di satuan pendidikan. Yang lebih mengkhawatirkan, KPAI juga melaporkan bahwa dari 46 anak yang mengakhiri hidup akibat kekerasan, hampir separuhnya terjadi saat mereka masih mengenakan seragam sekolah. 

Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan bahwa praktik perundungan masih sangat mengakar di lingkungan pendidikan, tetapi juga mengindikasikan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman, telah menjadi tempat berlangsungnya kekerasan sistemik yang berdampak fatal bagi anak-anak. 

Dari data di atas menunjukkan, bahwa angka perundungan di Indonesia masih tinggi. Pelakunya tidak hanya sesama teman, tetapi lebih senior. Tempatnya bisa di semua arena, termasuk di lingkungan sekolah. Perundungan anak di sekolah pada umumnya dilakukan secara berkelompok. Hal ini disebabkan lemahnya deteksi dini terhadap kelompok pergaulan yang toksik. 

Kasus perundungan yang terjadi sekolah elite (Binus School Serpong) pada 2024 yang melibatkan 8 anak berkonflik dengan hukum (ABH) dan 4 orang ditetapkan sebagai tersangka menunjukkan bahwa perundungan ini terjadi nyaris tidak memandang status sosial dan ekonomi dari sekolah. Sekolah elite pun, bukan jaminan bahwa anak yang dititipkan orang tua akan bebas dari perundungan. 
    
Salah satu contoh paling tragis dari dampak perundungan terjadi dua bulan lalu di Indragiri Hulu Riau. Seorang siswa kelas dua SD meninggal dunia pada Mei 2025 akibat luka dalam yang diduga disebabkan oleh pemukulan teman-temannya. Korban sempat mengeluhkan sakit perut setelah insiden pemukulan, namun tidak segera ditangani serius hingga akhirnya meninggal karena infeksi sistemik di rongga perut. 

Hasil visum dan otopsi menunjukkan adanya memar serta resapan darah akibat kekerasan benda tumpul. Meskipun pelaku masih di bawah umur dan tidak dapat diproses pidana, kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan antaranak yang sering kali dianggap 'main-main' dapat berujung pada kematian. Dan betapa sistem pengawasan serta penanganan diri di sekolah begitu rapuh menghadapi situasi ini. 

Iklim pendidikan masih rentan

Sebetulnya mengenali ciri-ciri korban perundungan sangat mudah. Tidak perlu menjadi psikolog untuk mengenal hal ini. Biasanya korban perundungan selalu memendam persoalannya tanpa melibatkan pihak lain. Perubahan perilaku seperti murung, menghindari interaksi sosial, atau sering keluar kelas dengan alasan sepele, adalah tanda-tanda yang perlu diperhatikan. Korban melakukan hal ini untuk menekan kecemasannya, atau kegugupannya. Korban perundungan biasanya memendam rasa rendah diri hingga ke usianya yang lanjut. Memori masa sekolahnya akan dia bawa hingga ke jenjang berikutnya. 
    
Jika korban perundungan tidak mempunyai support system dari lingkungan sekitarnya, ia bisa merasa benar-benar sendirian dan terasing. Rasa dikucilkan akan semakin dalam apabila teman-teman terdekat pun ikut menjauh. Ketika tak ada lagi tempat bercerita, ia bisa kehilangan arah dan memilih jalan pintas yang membahayakan dirinya. Dalam kondisi seperti ini, korban mungkin menunjukkan perilaku yang tak biasa dengan melakukan hal-hal di luar karakter aslinya, seolah bukan dirinya yang kita kenal. 

Ciri-ciri ini tidaklah bersifat pasti, bisa berubah-ubah tergantung pemicunya. Terlebih, jika lingkungan tempat tinggalnya tidak mendukung dirinya. Lingkungan yang terlalu cuek, terlalu mengabaikan dirinya, atau terlalu sibuk dengan rutinitas kota (beban hidup yang berlebihan). Maka si anak bisa menghadapi perundungan dengan caranya sendiri. 

Era diterminisme teknologi

Perundungan saat ini juga bisa jadi berakar dari kemajuan teknologi. Di era digital, hampir seluruh aktifitas (mulai dari memesan makanan, memanggil ojek, mengirim dan menerima paket, hingga layanan rumah tangga) berjalan lewat teknologi komunikasi. 

Anak-anak tumbuh dalam ekosistem digital dan kerap mengkonsumsi konten yang tanpa disadari, memperlihatkan dan menormalisasi perilaku perundungan. Gawai yang mereka gunakan setiap hari, tidak hanya menjadi alat belajar atau hiburan, tetapi secara perlahan bisa membentuk pemahaman keliru tentang bagaimana memperlakukan orang lain. Termasuk, meniru gaya atau teknik perundungan yang mereka lihat secara terus menerus. 
    
Sudah seharusnya pengelola media online menetapkan batasan yang jelas tentang perilaku seperti apa yang termasuk dalam kategori perundungan. Panduan ini penting, agar pengguna memahami dan berhati-hati jika sikap dan tindakannya sudah masuk ke ranah perundungan. Tanpa kejelasan ini, banyak yang mungkin tidak menyadari bahwa ucapan atau perilakunya telah melanggar batas dan berpotensi menjadi tindak pidana siber. 

Maka dari itu, penyusunan pedoman semacam ini menjadi langkah yang mendesak untuk mencegah pengguna terjerat persoalan hukum akibat konten atau interaksi yang merugikan orang lain. 

Penulis menilai, bahwa hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi yang secara khusus mengatur media online. Banyak pihak masih merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai payung hukum utama dalam hal ini. Padahal, UU ITE sejatinya belum dapat disebut sebagai UU yang benar-benar mengatur media digital secara komprehensif. Isinya masih bersifat umum, dan hanya mencakup garis besar, tanpa menjangkau kompleksitas dinamika media online yang berkembang pesat. 

Urgensi regulasi khusus mengenai media digital kian mendesak, sudah waktunya DPR bersama pemerintah merumuskan payung hukum yang lebih spesifik, detail dan berpihak pada korban. 

Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat telah menerapkan kebijakan tegas untuk menangani perundungan siber di media sosial. Uni Eropa memberlakukan Digital Services Act (DSA) yang mewajibkan platform digital menghapus konten berbahaya dan illegal, termasuk perundungan siber, dengan ancaman denda hingga 6% dari pendapatan global jika tidak patuh (European Commission, 2024). 

Di Jerman, NetzDG mewajibkan platform dengan lebih dari dua juta pengguna untuk menghapus konten illegal dalam waktu 24 jam, dengan ancaman denda hingga 50 juta Euro (Federal Ministry of Justice, Germany). 

Sementara itu, di Amerika Serikat, meskipun Section 230 of The Communications Decency Act masih memberikan perlindungan hukum bagi platform atas konten pengguna, kebijakan seperti Take it Down Act (2025) mengharuskan penghapusan konten ekspilisit non konsensual dalam 48 jam. Dan beberapa negara bagian seperti California telah mengkriminalisasi perundungan siber dengan ancaman hukuman penjara hingga 1 tahun dan denda hingga $1.000 (U.S. Congress, 2025, Cyberbullying Research Center). Kebijakan ini mencerminkan keseriusan global dalam mengatur ruang digital demi perlindungan pengguna, khususnya anak dan remaja. 

<b>Agenda ke depan<p>

Kasus perundungan yang terus berulang, bahkan hingga merenggut nyawa anak-anak di sekolah, seharusnya menjadi panggilan serius bagi semua pihak untuk bergerak. Hari Anak Nasional tidak cukup diperingati dengan seremonial dan jargon. Dibutuhkan langkah nyata dan terukur untuk membangun masa depan anak Indonesia yang aman, sehat dan bermartabat, sesuai dengan cita-cita bangsa ini: Menuju Indonesia Emas 2045. 

Pertama, pendidikan kita tidak boleh lagi semata-mata hanya mengejar angka rapor dan prestasi akademik. Sudah saatnya sekolah seara sadar menumbuhkan soft skill penting seperti empati, pengelolaan emosi, komunikasi non-kekerasan, dan keberanian bersuara saat melihat ketidakadilan. Anak-anak perlu dikenalkan sejak dini, bahwa menjadi cerdas tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan keberadaban. 
    
Kedua, di tengah laju perkembangan teknologi, anak-anak bukan hanya perlu memahami koding dan bahasa AI, tetapi juga harus dibekali etika digital. Mereka perlu tahu bagaimana cara berselancar secara aman, menghormati privasi orang lain, menolak hoaks dan ujaran kebencian, serta memahami konsekuensi dari tindakan digital mereka. Termasuk, saat mereka menyakiti orang lain di ruang maya. 

Ketiga, negara tidak boleh ragu menerapkan efek jera yang adil namun tegas kepada pelaku perundungan, termasuk jika dilakukan oleh anak. Prinsip keadilan restoratif bisa diterapkan, tetapi tetap harus memberikan rasa aman dan pemulihan bagi korban. Budaya anggap remeh atau hanya bercanda harus dihentikan. 
    
Keempat, upaya menghapus perundungan tidak bisa dibebankan kepada sekolah saja. Perlu sinergi antara orang tua, aparat hukum, organisasi perlindungan anak, dan platform digital untuk membangun sistem yang solid. Sekolah harus memiliki unit respon cepat dan kerahasiaan pelaporan, guru harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda kekerasan, dan orang tua harus dilibatkan dalam diskusi dan pemantauan perilaku anak. 

Akhirnya, komitmen negara harus ditunjukkan lewat kebijakan yang berpihak, termasuk pendanaan yang memadai, kurikulum yang inklusif, dan perlindungan hukum yang jelas bagi korban. Anak-anak bukan hanya aset masa depan, mereka adalah subjek hari ini. Maka melindungi mereka adalah harga mati bagi peradaban yang ingin tumbuh sehat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |