
WAKIL Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa perjuangan perempuan merupakan sebuah perjalanan panjang yang terus berlanjut. Ia menyoroti bagaimana sejarah mencatat peran besar perempuan dalam membangun bangsa, serta tantangan yang masih dihadapi saat ini.
Lestari mengingatkan bahwa perempuan telah berperan aktif dalam berbagai bidang sejak zaman dahulu. Ia mencontohkan kepemimpinan perempuan di Aceh, di mana selama periode yang cukup lama, para perempuan menduduki posisi sultanah.
“Kita punya rekam jejak dan catatan perempuan-perempuan besar yang bahkan sudah dianugerahi gelar pahlawan nasional,” ujarnya dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/3).
Lebih jauh, Lestari juga menyoroti seorang ratu dari Kepulauan Muria yang telah diakui sebagai pahlawan nasional pada tahun 2023. “Beliau sudah memiliki gagasan poros maritim dan wawasan Nusantara meskipun belum ada Indonesia,” jelasnya. Pada abad ke-15, ratu tersebut berhasil membangun pakta pertahanan dengan para pemimpin di Nusantara, yang membuat Portugis tidak bisa masuk ke wilayah Indonesia saat itu.
Dalam riset untuk mendukung pemberian gelar pahlawan nasional, ditemukan delapan dokumen sejarah baru dari sumber Portugis yang menunjukkan bagaimana tentara Portugis merasa gentar terhadap armada maritim sang ratu.
“Ahli militer yang bergabung dalam tim penelitian kami melihat kapalnya memiliki panjang lebih dari 70 meter dan bisa memuat seribu orang. Kira-kira seperti kapal induk Amerika saat ini,” ungkap Lestari.
Bahkan, industri perkapalan yang dibangun sang ratu di Jepara sempat berkembang pesat sebelum akhirnya dibatasi oleh aturan kolonial Belanda.
Selain pemimpin maritim tersebut, Lestari juga mengangkat nama-nama lain seperti Laksamana Malahayati, serta perempuan-perempuan pejuang di berbagai sektor. “Kalau kita lihat di bidang keulamaan, ada Bunyai Amadahlan. Di pers, ada nama-nama seperti Fatima al-Banjari, Rohana Kudus, dan banyak lainnya,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa perjuangan perempuan telah mewarnai sejarah, baik di bidang politik, militer, pendidikan, maupun jurnalistik.
Namun, di tengah jejak panjang kepahlawanan perempuan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Lestari menyoroti bahwa hingga saat ini masih ada budaya yang menempatkan perempuan pada posisi tidak setara.
“Di Jawa, misalnya, masih ada ungkapan yang menempatkan perempuan dalam tingkat yang tidak setara. Ini menjadi salah satu tantangan yang harus kita lawan,” katanya.
Menurutnya, perjuangan perempuan bukan hanya demi kesetaraan, tetapi juga bagian dari membangun patriotisme bangsa. “Masih banyak agenda perempuan yang harus kita perjuangkan, dan perjuangan kita sebetulnya adalah bagian dari membangun patriotisme itu sendiri,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa momentum Hari Perempuan Internasional harus menjadi pengingat bahwa perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam membangun bangsa. “Perempuan Indonesia sejak zaman dulu adalah perempuan yang tangguh. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, dan itu sudah terbukti,” pungkasnya. (H-1)