
PROSES penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) masih terus berjalan di Komisi III DPR. Akan tetapi, terdapat sejumlah klausul dan bab yang bermasalah dalam RUU KUHAP antara lain soal peran advokat dan bantuan hukum serta korban tindak pidana.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia ( DPN Peradi) Ifdhal Kasim, mengatakan pihaknya tidak setuju apabila materi tentang advokat dijadikan satu bab dengan materi bantuan hukum. Menurutnya, hal ini akan melepaskan tanggung jawab negara kepada advokat dalam memberikan bantuan hukum kepada korban.
“Kami keberatan jika materi terkait advokat dijadikan ke dalam satu bab dengan bantuan hukum, harusnya advokat diatur dalam satu bab tersendiri mengingat peran advokat sangat fundamental untuk menjaga keseimbangan antara aparat penegak hukum dengan hak-hak tersangka atau terdakwa,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Rakyat (RDPR) Akademisi dan Praktisi ‘Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?’ pada Senin (21/7).
Peran Advokat?
Ifdhal mengatakan dengan memasukkan peran advokat dan bantuan hukum dalam satu bab, seolah-olah advokat memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan undang-undang sebab pemberian bantuan hukum merupakan kewajiban mutlak negara.
“Pemberian bantuan hukum itu bukan kewajiban advokat karena itu adalah kewajiban negara, negara yang memberikan dan menyediakan anggaran untuk bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu. Bahwa nantinya itu dijalankan oleh advokat adalah suatu hal yang lain, tapi itu bukan menjadi kewajiban advokat,” tukasnya.
Tahap Penyelidikan?
Selain itu, Ifdhal juga menyoroti minimnya peran advokat dalam proses peradilan tindak pidana khususnya pada tahap penyelidikan. Ia menilai RUU KUHAP masih belum memberikan hak kepada advokat untuk bisa mendampingi tersangka dan saksi secara menyeluruh.
“Advokat hanya dibolehkan mendampingi tersangka atau saksi pada tahap penyidikan padahal tahap itu sudah ada upaya paksa dari penyidik. Seharusnya, advokat diberikan hak untuk mendampingi pada tahap penyelidikan dan penyidikan sebab tanpa kehadiran advokat dalam proses peradilan, tidak terjadi keseimbangan kedudukan antara tersangka dengan aparat penegak hukum,” jelasnya.
Upaya Paksa?
Lebih jauh, Ifdhal menilai pengaturan penyelidikan dalam RUU KUHAP nyaris menyerupai upaya paksa dan berpotensi melanggar hak asasi manusia sebab kepolisian diberikan hak untuk melakukan pembuntutan, penyematan dan pembelian terselubung terhadap terdakwa.
“Ini akan sangat berbahaya jika tidak ada aturan yang jelas terkait dengan bagaimana bentuk dari pembelian terselubung itu dilakukan, kondisi seperti apa yang membuat polisi melakukan bisa melakukan pencemaran dan pembuntutan. Ini akan membahayakan hak privasi warganegara,” tukasnya.
Hak Korban?
Ifdhal juga menjelaskan RUU KUHAP perlu mengatur hak-hak korban khususnya untuk mendapatkan bantuan hukum, informasi terkait dengan perkembangan penanganan kasusnya, termasuk setiap kemajuan penanganannya, dan waktu persidangan.
“Hak korban harus dilindungi dari intimidasi, harassment, dan kekerasan yang membahayakannya. Korban juga harus mendapatkan akses mengikuti proses persidangan, termasuk diberikan keterangan dan rekomendasi tentang hukuman, serta hak korban untuk mendapatkan pemulihan dari kerugian yang dialaminya,” pungkasnya. (Dev/P-3)