Pengamat Sebut Aroma Pelanggaran Pidana Kental di Tambang Nikel Raja Ampat

5 hours ago 3

PENGAMAT kebijakan hukum kehutanan dan konservasi Universitas Indonesia (UI) Budi Riyanto mengendus kentalnya aroma pelanggaran pidana dalam aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Ia mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2014 adalah tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pada Pasal 35 huruf k mengamanatkan pelarangan penambangan mineral di pulau-pulau kecil yang menimbulkankerusakan ekologis, mencemari lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar. Sedangkan Pasal 73 ayat (1) huruf f mengatur soal sanksi pidananya. Ancaman pidana penjara mencapai 10 tahun. Selain itu, Budi mengatakan UU lainnya yang perlu diperhatikan ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

"Apabila mendasari pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka setidaknya ada dua UU yang harus diperhatikan yaitu UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penapisan awal jelas pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang. Demikian pula UU PPLH menapis soal kelestatian lingkungan dan Amdal," kata Budi kepada Media Indonesia, Minggu (8/6).

Tak hanya itu, Budi juga mengaitkan aktivitas tambang di Raja Ampat dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Ia menilai Keppres tersebut mengatur tentang kawasan yang ditetapkan untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup, mencakup sumber alam, sumber daya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan.

"Apabila dikaitkan pula dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 maka masuk wilayah kawasan lindung maka sangatlah mustahil izin diterbitkan," katanya.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan pengawasan terhadap empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat sejak akhir bulan Mei lalu. Keempat perusahaan tersebut yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). PT ASP diketahui melakukan aktivitas pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan maupun pengelolaan air limbah larian. Plang peringatan telah dipasang KLH/BPLH sebagai bentuk penghentian kegiatan di lokasi tersebut.

Sementara itu, PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag seluas ±6.030,53 hektare. Dalam hal ini, kedua lokasi tersebut, yaitu Pulau Manuran dan Pulau Gag termasuk ke dalam kategori pulau kecil. Oleh karena itu, aktivitas pertambangan di wilayah tersebut dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. “Penambangan di pulau-pulau kecil adalah bentuk pelanggaran terhadap pengelolaan wilayah pesisir yang sudah diatur dalam Undang-Undang. KLH/BPLH akan bertindak tegas sesuai dengan aturan yang berlaku dan mengkaji ulang terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat,” tegas Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Minggu (8/6).

KLH/BPLH saat ini tengah melakukan evaluasi atas Persetujuan Lingkungan milik PT ASP dan PT GN. Apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum, maka izin lingkungan kedua perusahaan tersebut akan dicabut.

Tak hanya itu, PT MRP juga menjadi sorotan karena tidak memiliki dokumen lingkungan maupun PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. Seluruh kegiatan eksplorasi perusahaan ini telah dihentikan. Di sisi lain, PT KSM terbukti membuka area tambang seluas lima hektare di luar izin lingkungan dan kawasan PPKH di Pulau Kawe. Aktivitas tersebut menimbulkan sedimentasi di pesisir Pantai. (E-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |