
PENGAMAT militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menilai menilai pemerintah saat ini sedang menunjukkan komitmen besar untuk mendorong kemandirian industri pertahanan. Hal itu tercermin dari berbagai proyek strategis seperti kapal selam Scorpene, Kapal Induk Landing Helicopter Dock (LHD), Frigate Merah Putih, hingga pengembangan drone, rudal dan roket.
“Namun untuk memastikan seluruh inisiatif ini tidak bersifat simbolik atau parsial, Indonesia perlu membangun fondasi kelembagaan dan strategi jangka panjang yang kuat,” kata pria yang kerap disapa Fahmi itu kepada Media Indonesia pada Kamis (26/6).
Menurut Fahmi, pemerintah perlu mempertimbangkan secara serius pembentukan badan industri pertahanan yang otoritatif seperti yang dimiliki Turki yakni Savunma Sanayii Ba?kanl??? (SSB) atau Badan Industri Pertahanan Turki. Dikatakan bahwa keberadaan SSB terbukti mempercepat lokalisasi teknologi dan menyinkronkan kebutuhan militer dengan kapasitas industri nasional.
“Badan ini bukan sekadar regulator atau fasilitator proyek, tetapi bertindak sebagai perancang kebijakan industri pertahanan nasional, pengelolaan portofolio strategis, sekaligus penghubung aktif antara pemerintah, TNI, lembaga riset, perguruan tinggi, dan pelaku industri,” imbuhnya.
Fahmi menilai, di tengah tantangan fragmentasi kebijakan antar-lembaga, tumpang tindih kewenangan, serta lemahnya orkestrasi riset dan hilirisasi, kehadiran badan industri pertahanan yang kuat dan langsung bertanggung jawab kepada Presiden atau Menteri Pertahanan dapat memperkuat kepemimpinan nasional dalam sektor ini.
“Namun tentu, kehadiran badan ini perlu diikuti dengan revisi regulasi seperti UU Industri Pertahanan dan peraturan turunannya, agar tidak tumpang tindih dengan fungsi Kementerian/lembaga existing,” ujar akademisi dari Universitas Airlangga itu.
Selain kelembagaan, Fahmi menurutkan untuk mewujudkan industri pertahanan yang mandiri, diperlukan road map atau peta jalan jangka menengah dan panjang yang terencana agar eksekusi berbagai pembangunan alutsista di dalam negeri tidak mengalami stagnansi.
“Roadmap ini harus mengaitkan proyeksi kebutuhan postur pertahanan TNI dengan kemampuan penguasaan teknologi strategis. Ia juga harus dilengkapi skema insentif investasi, pendanaan riset, serta keterlibatan UMKM dan swasta agar ekosistem pertahanan nasional tidak bergantung pada satu-dua entitas saja,” tuturnya.
Di samping itu, Fahmi menekankan hal lain yang krusial untuk meningkatkan industri pertahanan adalah adanya pengawalan serius terhadap transfer teknologi (ToT).
“ToT dari proyek kapal selam, drone, atau radar seharusnya tidak berhenti di tahap perakitan atau pelatihan teknis, tapi benar-benar dimanfaatkan untuk membangun kemandirian pada komponen-komponen kunci seperti avionik, sistem senjata, dan propulsion misalnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Fahmi menegaskan bahwa penguatan alutsista Indonesia bukan lagi opsi, tapi sebuah keharusan strategis di tengah rivalitas geopolitik global yang semakin tak menentu khususnya dari ketegangan Laut China Selatan, Perang Ukraina, hingga konflik Israel-Iran.
“Indonesia berada di titik persimpangan penting dalam sejarah pertahanannya, apakah akan terus menjadi negara pengguna (importir) alutsista atau bertransformasi menjadi produsen yang andal dan mandiri,” tuturnya.
Fahmi menjelaskan penguatan alutsista sangat penting bagi TNI sebagai deterrence (daya tangkal) terhadap potensi agresi atau pelanggaran wilayah, kemampuan respons cepat terhadap ancaman non-konvensional seperti infiltrasi laut, terorisme lintas batas, hingga gangguan keamanan siber.
“Penguatan alutsista dalam negeri juga semakin penting untuk mendukung misi kemanusiaan, perdamaian, dan stabilitas kawasan, termasuk operasi SAR, bantuan bencana, dan evakuasi WNI,” katanya.
Kendati demikian, Fahmi menilai bahwa pemerintah Indonesia masih menemui jalan terjal dalam memperkuat industri pertahanan khususnya penyediaan alutsista, mulai dari masih ketergantungan pada komponen impor dan keterbatasan pasokan global hingga pendanaan yang belum stabil,
“Ketidaksinkronan antara kebutuhan TNI dan kapasitas industri nasional, yang menyebabkan gap antara permintaan (demand) dan pasokan (supply). Pendanaan strategis jangka panjang juga belum stabil, padahal proyek pertahanan bersifat multiyears dan padat modal,” tukasnya.
Fahmi juga menilai kurangnya talenta dan SDM teknologis dalam negeri, terutama di bidang desain sistem senjata dan rekayasa material militer, serta belum adanya otoritas tunggal yang mampu mengorkestrasi lintas aktor, dari Kemenhan, KKIP, TNI, industri, hingga akademisi dapat menjadi faktor gagalnya reformasi pertahanan.
“Jika tidak ada reformasi kelembagaan dan perencanaan terintegrasi, maka berbagai proyek unggulan saat ini, sebaik dan sehebat apapun teknologinya, bisa saja terhenti di tengah jalan atau tidak memberi kontribusi nyata pada kemandirian jangka panjang,” pungkasnya. (P-4)