
MASYARAKAT modern di perkotaan telah mengenal gaya hidup yang menerapkan prinsip islami, tidak hanya makanan, tetapi juga gaya berpakaian, wisata, dan bahkan perbankan. Ekonomi Islam yang berdiri di atas fondasi Al-Qur’an dan Sunah mengatur muamalah dengan prinsip kehalalan yang luwes, tetapi tegas melarang empat racun destruktif, yaitu maisir (judi), gharar (ketidakpastian yang eksploitatif), riba (bunga), dan bathil (transaksi batil).
Prinsip itu bukan sekadar larangan, melainkan guardrail ilahi yang melindungi manusia dari kerusakan jiwa dan sistemik. Namun, di tengah gemerlap sistem keuangan konvensional yang menjadikan riba sebagai nadi ekonomi, keimanan sempurna (yang seharusnya menjadi motor kepatuhan) kerap tergerus oleh tarikan instan dopamin dari kepuasan materi.
Fenomena itu tecermin pada pertumbuhan perbankan syariah yang masih tersendat meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengharamkan bunga bank sejak 2003. Migrasi massal umat Islam ke sistem perbankan syariah belum terjadi. Sebelum lahirnya Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2021, aset perbankan syariah terjebak dalam 5% trap yang artinya aset total seluruh perbankan syariah hanya menyumbang 5% dari seluruh aset total perbankan nasional.
Walaupun data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2023 menunjukkan adanya peningkatan menjadi 7,3%, angka itu tetap masih jauh dari potensi sesungguhnya Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar dunia. Hal itu membuktikan pendekatan halal-haram saja pada masyarakat tidak cukup. Kepatuhan pada aturan syariah perlu dibangun dan diperkuat melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang benefit sebuah aturan syariah dalam maslahat manusia, di antaranya mengenai cara otak manusia memproses kebahagiaan dan mengambil keputusan dengan menerapkan ekonomi syariah.
MEMBANTU MERETAS JALAN KETAATAN MELALUI PEMAHAMAN KERJA OTAK
Allah berfirman: “Jika kamu berbuat baik, itu untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat buruk, itu untuk dirimu pula…” (QS Al-Isra: 7). Ayat itu mengisyaratkan ketaatan pada syariat ekonomi Islam ialah investasi kebahagiaan jiwa. Namun, mengapa banyak umat masih sulit meninggalkan riba atau judi? Jawabannya terletak pada cara otak manusia bekerja, terutama dalam memproses imbalan (reward), risiko (risk), dan hukuman (punishment).
Neuroeconomics ialah sebuah studi interdisipliner yang secara integratif menggunakan pendekatan ekonomi, psikologi, dan neurosains untuk menjelaskan fenomena perilaku masyarakat, termasuk dalam implementasi ekonomi syariah. Melalui pendekatan neuroeconomics dapat dijelaskan mengapa sistem keuangan konvensional dirancang untuk 'menipu' otak.
Sebagai contoh, pemilihan bunga bank dan skema buy now pay later (BNPL) terbukti mengaktifkan nucleus accumbens, sebuah area otak yang berkaitan dengan pemenuhan hasrat secara instan, dan menghambat prefrontal cortex (PFC), bagian otak paling depan, yang memainkan peranan sangat penting dalam fungsi kognitif tingkat tinggi, dan fungsi luhur di antaranya melakukan perencanaan, pengambilan keputusan, penilaian risiko jangka panjang, dan pencegahan tindakan impulsif.
Dalam salah satu studi sangat menarik yang terbit di jurnal Biological Psychiatry (Pubmed Central) 2011 berjudul Prefrontal Cortex and Impulsive Decision Making dipaparkan bahwa imbalan instan secara konstan dapat mengurangi aktivitas fungsi luhur otak bagian depan dan membuat manusia memiliki kecenderungan untuk mengambil keputusan impulsif tanpa pertimbangan panjang.
Hal itu akan membuat otak terbiasa dengan pengambilan keputusan pendek, tanpa pertimbangan risiko syariat dan terjebak dalam 'ilusi' seperti 'Riba memang haram, sih, tapi ya cuma begini cara cepat kaya!' atau 'Yang penting dapat bunga besar, jadi kebutuhan keluarga bisa terpenuhi...'.
Lebih jauh lagi, salah satu wilayah di dalam PFC, yaitu bagian ventromedial (vmPFC), telah terbukti memiliki dampak besar dalam merespon imbalan itu, termasuk dalam penilaian dan keputusan terkait dengan pengambilan risiko. Respons vmPFC sangat berkaitan erat dengan nilai dari imbalan yang diharapkan dan dengan tingkat ketidakpastian dan hasil diinginkan (Manning et al, 2015; Blair et al, 2006).
Hal itu menunjukkan bahwa ketika individu mengambil keputusan berbasis pada imbalan yang sifatnya instan, mereka sudah mengorbankan pengolahan informasi yang lebih kompleks pada bagian otak yang lebih tinggi dan luhur, yaitu PFC. Tindakan mengabaikan PFC secara konsisten itu dapat mengarah ke penurunan fungsi kognitif yang berkaitan dengan pengendalian impuls (Wood et al, 2016; Drobetz et al, 2014).
Melalui uraian di atas, pendekatan neuroeconomics menjadi relevan dipelajari dan sangat berguna untuk dieksplorasi dalam meningkatkan kepatuhan pada syariat, terutama dalam implementasi ekonomi syariah.
Melalui pendekatan neuroeconomics dapat dilihat, bahwa kepatuhan pada syariah bukan sekadar halal-haram, boleh-tidak boleh, melainkan juga lebih jauh lagi ialah bentuk penjagaan dan self-care terbaik bagi kesehatan otak. Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk merancang edukasi ekonomi syariah yang tidak hanya menekankan pahala dan dosa, tetapi juga menunjukkan manfaat implementasi ekonomi syariah pada kepatuhan terhadap transaksi halal, sebagai wujud perlindungan pada kesehatan otak, kelurusan akal dan budi manusia (hifdz al-aql).
Sebagai contoh, larangan riba ternyata dapat melindungi otak dari pengambilan keputusan instan, pengabaian fungsi luhur otak di area PFC dan siklus kecanduan utang berulang yang dapat merusak tidak hanya kesehatan otak, tetapi lebih jauh lagi kesehatan mental secara keseluruhan.
Lebih jauh lagi, sebuah studi dari Tran, A, Mintert, J, Llamas, J, & Lam, C (2018) menunjukkan tekanan siklus utang yang konsisten terus-menerus dapat merangsang peningkatan hormon kortisol, salah satu hormon penanda stres pada manusia. Peningkatan kadar kortisol yang berkepanjangan sudah terbukti dapat memicu timbulnya masalah kesehatan yang lebih luas seperti penyakit jantung karena tekanan darah tinggi, penyakit kencing manis karena kadar kortisol yang tinggi dapat memicu resistensi insulin dalam mengelola kadar gula darah, dan gangguan kesehatan lain.
Hal sebaliknya berlaku, membiasakan prinsip keadilan sebagaimana diajarkan dalam ekonomi syariah dapat mengaktifkan insula anterior, area otak yang memperkuat empati dan kepuasan sosial, seperti yang baru-baru ini terungkap dalam riset yang dipublikasikan di Journal of Applied Developmental Psychology (2020) yang diteliti Gevaux, et al (2020).
Berbekal pemahaman terhadap kerja otak, para ahli ekonomi syariah dapat mengambil kesimpulan yang lebih integratif berbasis pendekatan multidisipliner, bahwa belum berminatnya masyarakat pada transaksi syariah bisa jadi berfokus pada kurangnya literasi akan manfaat jangka panjang yang akan mereka dapatkan dengan melakukan transaksi syariah dan ketidapahaman bahwa menutup akal dan hati dengan tetap mengambil keputusan imbalan instan dari riba dapat mengganggu hormon-hormon yang mengganggu fungsi luhur dan pada akhirnya mengganggu kerja otak yang dapat berakibat pada siklus utang berkepanjangan.
TIGA STRATEGI BERBASIS NEUROECONOMICS APPROACH DALAM PENGUATAN IMPLEMENTASI EKONOMI SYARIAH
Berdasarkan uraian di atas, dalam upaya impelementasi ekonomi syariah yang lebih luas, perlu dilakukan pendekatan dengan strategi berbasis pendekatan neuroeconomics. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya (HR Al-Baihaqi)." Hadits itu mengisyaratkan bahwa ketaatan pada syariat harus dimulai dari pemahaman diri, termasuk bagaimana cara kerja otak, sehingga manusia memahami bahwa ketika Allah SWT menurunkan syariat-Nya kepada manusia, itu tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai sebuah cara menjaga manusia tetap dalam kebaikan dan kesehatannya.
Berikut ialah tiga strategi berbasis neuroeconomics approach yang bisa ditawarkan penulis untuk memperkuat implementasi ekonomi syariah sebagai ekonomi yang human, perwujudan sifat rahman dan rahim Allah SWT.
REFRAMING KEBAHAGIAAN, MENGUBAH PARADIGMA KONSUMSI KE KONTRIBUSI
Kebanyakan orang mengaitkan kebahagiaan dengan kepemilikan materi. Padahal, neurosains membuktikan kebahagiaan sejati berasal dari aktivitas yang melibatkan PFC (perencanaan bijak) dan ventral striatum (kepuasan bermakna). Ekonomi syariah, dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) dan zakat, selaras dengan mekanisme itu.
Penelitian berjudul Helping Others Shows Differential Benefits on Health and Well-being for Male and Female Teens yang dipublikasikan di Journal of Happiness Studies oleh Schwartz et al (2009) menunjukkan berbagi rezeki seperti membayar zakat meningkatkan aktivitas ventral striatum sama seperti memenangi hadiah untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, membantu sesama tidak hanya bernilai pahala, tetapi juga dapat memicu kesehatan otak lebih baik lagi.
MENDESAIN PRODUK SYARIAH YANG MENSTIMULASI KERJA OTAK
Industri keuangan syariah perlu mengadopsi temuan neuroeconomics dalam merancang produk. Contohnya, menggunakan visualisasi dampak sosial, dalam branding image ekonomi syariah seperti 'dana Anda membantu petani kopi organik di Aceh'. Hal itu bertujuan mengaktifkan insula anterior dan memicu keputusan untuk berderma.
Bank syariah juga dapat menerapkan hal itu dengan membuat fitur-fitur menarik seperti track your impact and dampact berbasis aplikasi mobile sehingga nasabah bisa melihat langsung impak dan dampak investasi mereka baik kepada diri mereka ataupun kepada penerima benefit lain. Hal itu dapat memicu ventral striatum yang lebih jauhnya memicu happiness dan menekan hormon stres.
PENDIDIKAN SYARIAH BERBASIS BUKTI ILMIAH
Kampanye seperti 'halal is good' atau 'syariah menyehatkan' perlu diperkuat dengan data konkret dan diulang terus-menerus untuk mempertahankan resistensi pemahaman ekonomi syariah di masyarakat. Misalnya, menjelaskan bahwa menghindari riba tidak hanya mencegah dosa, tetapi juga mengurangi risiko depresi karena penelitian yang dilakukan Fitch et al (2011) yang dipublikasikan di Mental Health Review Journal menyebutkan peminjam dana di bank lebih rentan mengalami gangguan kecemasan.
Sementara itu, sedekah dan zakat meningkatkan produksi oksitosin, hormon yang memperkuat ikatan sosial dan rasa bahagia, seperti diungkap dalam artikel berjudul Generosity Makes You Richer in Unexpected Ways yang dipublikasikan Lynn University.
RELASI NEUROECONOMICS APPROACH DAN TAZKIYATUN NAFS
Allah menyebut orang yang terjebak riba sebagai 'orang-orang yang tidak berdiri kecuali seperti berdirinya orang kerasukan setan' (QS Al-Baqarah: 275). Metafora itu menggambarkan bagaimana materi bisa meng-hack otak, mengubah manusia menjadi budak nafsu. Neuroeconomics membuktikan bahwa kecanduan materi mengganggu keseimbangan neurotransmitter, misalnya dengan cara mengurangi serotonin (hormon ketenangan) dan meningkatkan kortisol (hormon stres).
Ketaatan pada prinsip ekonomi syariah ialah salah satu bentuk tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) yang sekaligus dapat meregulasi kimia otak. Misalnya, menghindari maisir (judi) dapat mencegah kerusakan orbitofrontal cortex, salah satu area otak yang mengatur pengambilan keputusan rasional. Sebaliknya, transaksi adil dalam jual beli sesuai syariah dapat mengaktifkan anterior cingulate cortex, yang memperkuat rasa percaya dan kejujuran.
Di tengah gempuran iklan dan budaya konsumerisme yang hiperrealistis, tazkiyatun nafs juga menjadi terapi bagi otak yang keracunan materi. Neuroeconomics mengungkap bahwa godaan materi, seperti halnya diskon besar atau gaya hidup luxury, akan memicu lonjakan dopamin, neurotransmiter yang terkait dengan rasa ingin dan kecanduan.
Sistem dopaminergik yang terangsang secara terus-menerus itu dapat meningkatkan agitasi dan lebih jauh lagi menciptakan siklus hedonic treadmill, yaitu siklus 'setan' dengan pemenuhan kebahagiaan instan hanya dapat memenuhi kebahagiaan yang bersifat sementara dan sesudah itu, otak akan menuntut pemenuhan kebahagiaan yang lebih tinggi dengan stimulasi kebahagiaan yang lebih tinggi sehingga pelakunya terjebak dalam kelelahan berkepanjangan dan stres dalam upaya pemenuhan kebahagiaan.
Hedonic treadmill lebih jauh lagi dapat berakibat pada kurangnya apresiasi terhadap kebahagiaan sehingga pelakunya dapat mengalami gangguan psikologis akibat dari keinginan mendapatkan pemenuhan dan validasi berkepanjangan.
Dalam konteks itu, zakat dan sedekah, sebagai dua di antara instrumen transaksi dari ekonomi syariah, berperan sebagai neurochemical reset. Studi fMRI menunjukkan aktivitas memberi (altruisme) dapat mengaktifkan striatum ventral, area otak yang terkait dengan kepuasan intrinsik, sekaligus menekan aktivitas di area amigdala, salah satu pusat kecemasan otak.
Selain itu, praktik syukur (syukur nikmat) dalam Islam yang berhasil diinternalisasi akan menginduksi plastisitas otak pada PFC sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir jangka panjang dan mengurangi impulsivitas.
Ritual ibadah seperti salat dan puasa, yang melatih disiplin waktu dan pengendalian diri, juga dapat memperkuat koneksi saraf di insula anterior, area otak yang bertanggung jawab atas kesadaran emosional.
Dapat disimpulkan pada akhirnya, tazkiyatun nafs bukan sekadar konsep moral jiwa yang agung, melainkan juga sesuatu yang dapat berperan sebagai neuro-spiritual reset protocol yang dapat memformat ulang pola pikir, bekerja lewat aktivasi pusat kebaikan otak serta inhibisi pusat negatif otak, memperbaiki kesehatan otak secara nyata dan merubah paradigma dari 'memiliki' menjadi 'menjadi'.
Di era yang mendewakan kepemilikan, neuro-spiritual reset protocol itu ialah upaya preventif terhadap dehumanisasi yang mengembalikan manusia pada fitrahnya sebagai khalifah, bukan sekadar mesin konsumsi.
PENUTUP
Pendekatan neuroeconomics bukan sebuah upaya merasionalisasi agama, melainkan sebuah upaya integrasi keilmuan dan keislaman dalam upaya memperkuat bukti bahwa syariat Islam bukan sekadar tatanan regulasi religius, melainkan juga tatanan sempurna untuk keseluruhan aspek hidup manusia. Pendekatan neuroeconomics dalam ekonomi syariah juga menjadi satu pendekatan multidisiplin integratif yang menyatukan dikotomi ekonomi sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu agama.
Melalui pendekatan itu, dapat dilihat bahwa aktivitas ekonomi tidak terlepas dari kesehatan dan kemaslahatan manusia secara keseluruhan sehingga dari perspektif neuroeconomics sangat jelas terlihat bahwa mematuhi larangan riba, menghindari gharar, dan menebar keadilan, ternyata ialah panduan Allah SWT Yang Maha-rahman dan Maha-rahim agar manusia kembali melakukan neuro-spiritual reset protocol untuk menyehatkan otak sebagai pengendali kebaikan keseluruhan pada diri manusia, menyelaraskan ritme otak dan pada akhirnya mengembalikan manusia pada fitrah kemanusiaannya yang suci.
Allah berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS Az-Zariyat: 56). Dalam konteks ekonomi, 'ibadah' itu berarti menggunakan harta sebagai alat mendekatkan diri kepada-Nya, sekaligus merawat kesehatan otak agar otak tetap menjadi pusat kebijaksanaan yang mengatur seluruh kebaikan tubuh, bukan keserakahan.