
MAHASISWA Program Doktor Ilmu Hukum, Suyatin resmi meraih gelar doktor di Universitas Borobudur setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul, “Rekonstruksi Kewenangan Hakim Terhadap Putusan Bebas Bersyarat dengan Jaminan pada Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”.
Sidang promosi doktor yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Borobudur, Jakarta itu dipimpin oleh Rektor Universitas Borobudur Bambang Bernanthos.
Disertasi Suyatin menekankan pentingnya rekonstruksi kewenangan hakim dalam memberikan putusan bebas bersyarat dengan jaminan bagi anak yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika. Dalam sistem peradilan saat ini, hakim terbatasi oleh ketentuan yang mensyaratkan anak harus menjalani dua per tiga masa pidana sebelum bebas bersyarat, padahal pendekatan ini dinilai kurang efektif dalam mendukung rehabilitasi dan perlindungan anak.
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa anak pelaku narkotika seharusnya dipandang sebagai korban yang membutuhkan pendekatan rehabilitatif dan restoratif, bukan sekadar objek penghukuman.
Disertasi Suyatin ini mengungkapkan bahwa sistem hukum yang ada masih cenderung represif terhadap anak penyalahguna narkotika. Suyatin mengusulkan bahwa diversi dan bebas bersyarat dengan jaminan perlu diterapkan sejak tahap penyidikan, dengan mempertimbangkan perkembangan rehabilitasi anak.
Ditekankan pula bahwa hakim harus diberi kewenangan yang lebih luas untuk mempertimbangkan hasil asesmen psikologis dan sosial, serta adanya pengawasan yang ketat dalam proses rehabilitasi anak di luar lembaga pemasyarakatan.
Sebagai bentuk pembaruan hukum, disertasi Suyatin ini menawarkan model rekonstruksi di mana syarat pengajuan bebas bersyarat diubah dari dua per tiga menjadi satu per empat masa pidana, dengan masa minimal tiga bulan, selama anak menunjukkan perkembangan positif.
Pendekatan ini bertujuan mempercepat pemulihan anak, mengurangi risiko stigma dan residivisme, serta memperkuat integrasi sosial anak dengan dukungan keluarga dan komunitas. Konsep ini juga sejalan dengan prinsip keadilan restoratif dan perlindungan hak anak dalam sistem hukum Indonesia.
Sebagai kesimpulannya, penelitian ini menegaskan bahwa pembaruan hukum pidana anak harus diarahkan pada memperkuat perlindungan dan pemulihan anak, bukan memperpanjang masa pemenjaraan. Hakim harus diberi ruang diskresi yang lebih besar, dengan dukungan regulasi yang jelas, profesionalitas aparat, dan sistem rehabilitasi berbasis komunitas.
Rekonstruksi ini diharapkan mampu menciptakan sistem peradilan pidana anak yang lebih adil, efektif, dan berorientasi pada masa depan anak yang lebih baik.
Promotor Suyatin, Faisal Santiago menyebut disertasi Suyatin tidak hanya memperlihatkan ketekunan akademik, tetapi juga menawarkan solusi nyata yang relevan terhadap perbaikan sistem peradilan pidana anak.
Dengan mengusulkan rekonstruksi kewenangan hakim dalam pemberian bebas bersyarat bagi anak pelaku penyalahgunaan narkotika, Suyatin berhasil menghadirkan gagasan hukum yang progresif, humanis, dan berorientasi pada rehabilitasi.
"Ini merupakan kontribusi penting yang diharapkan dapat memperkuat perlindungan hukum anak dan mendorong reformasi hukum pidana yang lebih berkeadilan di Indonesia,” kata Faisal.
Disertasi Suyatin menekankan pentingnya rekonstruksi kewenangan hakim dalam menetapkan putusan bebas bersyarat dengan jaminan bagi anak pelaku penyalahgunaan narkotika, yang selama ini masih terjebak dalam pendekatan represif.
Ia mengatakan melalui pendekatan yuridis-empiris, penelitian ini merekomendasikan agar bebas bersyarat dapat diberikan sejak anak menjalani seperempat masa pidana, dengan mempertimbangkan perkembangan rehabilitasi.
"Suyatin mengusulkan pembaruan regulasi yang lebih adaptif, perluasan kewenangan hakim, serta integrasi pengawasan dan pendampingan berbasis komunitas untuk mewujudkan sistem
peradilan anak yang lebih adil, restoratif, dan berorientasi pada pemulihan anak," pungkasnya. (M-3)