
URBAN justice campaigner Greenpeace Indonesia, Jeanny Silvia Sirait menilai pembangunan tanggul laut atau giant sea wall bukan cara yang tepat untuk menangani banjir rob yang sering terjadi di berbagai daerah terutama di Jabodetabek dan pesisir pantai utara Jawa. Tembok-tembok di wilayah pesisir-pesisir Pulau Jawa tersebut sudah dibangun selama 5-10 tahun terakhir.
Greenpeace Indonesia menemukan peran tanggul laut di wilayah Jabodetabek secara khusus banjir rob berkurang bahkan tidak terjadi untuk jangka waktu 3-4 tahun. Namun ketika memasuki tahun ke-5, banjir rob kembali terjadi dengan intensitas yang lebih sering dan dengan kapasitas yang lebih besar.
"Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah justru menaikkan lagi temboknya. Jadi kita bisa bilang bahwa tanggul laut, giant sea wall, atau apapun namanya kita bisa bilang ternyata itu bukan solusi," kata Jeanny dalam webinar Denpasar 12 pada Rabu (26/1).
Menurutnya peran tanggul laut tidak substansial dan bukan solusi yang sustainable karena pada akhirnya pemerintah harus mengeluarkan anggaran lagi setiap 4-5 tahun untuk bangun tanggul yang sama dengan biaya yang sangat tinggi.
Oleh karena itu Greenpeace Indonesia menawaran solusi jangka panjang. Pertama langkah ambisius dan solusi yang berkelanjutan dengan cara pengesahan RUU Keadilan Iklim.
"Kedua pengesahan RUU EBET, itu juga sedang kita tunggu-tunggu, supaya kita tidak lagi berketergantungan pada energi fosil yang justru malah membuat dampak resisi iklim semakin buruk, banjir rob juga jadi semakin buruk," ungkapnya.
Ketiga dengan cara penanaman hutan mangrove. Hutan mangrove punya fungsi untuk memecah ombak. Apabila dibandingkan dengan pembangunan tembok laut yang memakan biaya tinggi, maka ada hutan mangrove yang solusinya sudah pasti lebih murah dan lebih berkelanjutan juga.
Lalu kemudian juga dia punya fungsi untuk reklamasi secara alami, karena dia bisa menimbulkan tanah baru. Dan ini sudah dilakukan ternyata oleh sejumlah masyarakat di wilayah pesisir.
"Saya bisa sampaikan, misalnya Pulau Pari, itu sudah melakukan hal tersebut. Ini masyarakat yang melakukan. Mereka cari ilmu, mereka undang lembaga negara untuk dapat ilmunya, habis itu mereka kerjakan penanaman mangrove besar-besaran di wilayah Pulau Pari," ucapnya.
Ia menyebut di Pulau Pari kondisi ombak yang tidak terlalu besar yang bisa membuat erosi atau abrasi di wilayah kepulauan, dan Pulau Pari bisa semakin besar.
Direktur Meteorologi Maritim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Eko Prasetyo menjelaskan tren perubahan tinggi muka air laut dari tahun 1992 hingga 2020 sekitar 3,9 mm per tahun dengan proyeksi perubahan tinggi muka air laut hingga tahun 2100, di Indonesia ini 8 mm per tahun.
"Sepertinya tidak terlalu tinggi, namun jika mengenangi dan dalam luasan yang luas, mengganggu kehidupan masyarakat. Seperti kegiatan-kegiatan perikanan atau budidaya di daratan dengan adanya air laut yang masuk ke daratan bisa mengganggu hasil panen mereka," ujarnya.
Petambak garam hingga kegiatan-kegiatan lain seperti aktivitas di pelabuhan bisa terganggu muka air laut naik. (H-3)