Paus Fransiskus dan Globalisasi Ketidakpedulian

4 hours ago 3
Paus Fransiskus dan Globalisasi Ketidakpedulian (Dok. Pribadi)

ULASAN tentang Paus Fransiskus sudah banyak kita baca di media massa. Para penulis berasal dari pelbagai latar belakang agama dan ideologi. Hal itu dapat dipahami. Isu publik yang menjadi pusat perhatian Paus Fransiskus berkaitan dengan persoalan kemanusiaan yang melampaui batas-batas agama dan ideologi.

ANTIMILITERISME

Akan tetapi, salah satu isu yang tidak banyak dibahas di media massa berkaitan dengan posisi antimiliterisme yang konsisten dari Paus Fransiskus. Dengan sangat jelas, dia menentang logika perlombaan senjata, perang digital, dan persenjataan nuklir, seperti yang dia katakan jauh sebelum dimulainya perang di Ukraina, yaitu ‘Perang Dunia Ketiga’ yang sedang berlangsung secara bertahap.

Paus mendesak para pemimpin negara untuk mengutamakan perundingan damai guna menyelesaikan konflik berdarah di Ukraina dan Gaza. Sikapnya ini telah menuai kritik dari dunia internasional, terutama dari kekuatan liberal di dalam dan luar Gereja yang mengharapkan penguatan posisi Eropa.

Sikap radikal antimiliterisme lahir bukan karena ia berasal dari Argentina atau dunia selatan. Posisi antikekerasan berakar pada pandangannya sebagai teolog dan sebagai seorang Kristen. Teologi Kristen menekankan pentingnya sikap membela kehidupan masyarakat sederhana, orang miskin, pengungsi, dan orang-orang yang terpinggirkan di atas semua kepentingan politik kekuasaan dari negara-negara dan kekuatan modal.

Paus Fransiskus tidak hanya mengekspresikan sikap itu lewat isyarat simbolis, tetapi juga menjadikannya sebagai kriteria tindakan. Lewat pernyataan sikap yang jelas dan arah tindakan yang tegas, dia tidak hanya mengkritik ‘globalisasi ketidakpedulian’, tetapi juga menekankan pentingnya belas kasihan, empati, dan kemurahan hati--bukan hanya sebagai kebajikan pribadi, tetapi sebagai prinsip dasar bagi manusia dalam membangun dunia dan tatanan politik.

GERAKAN SOSIAL DAN GEREJA KATOLIK

Paus Fransiskus tidak naif dan sangat sadar bahwa orientasi politik semacam itu tidak dapat dipaksakan kepada para penguasa dunia. Karena itu, ia secara konsisten mengandalkan aktor politik lainnya, misalnya gerakan sosial di seluruh dunia. Setahun setelah pemilihannya, Paus Fransiskus mengundang ke Vatikan para aktor yang terorganisasi sendiri bagi perubahan ‘dari bawah’ untuk sebuah pertemuan internasional.

Dalam pertemuan-pertemuan serupa lainnya, Fransiskus membawakan pidato-pidato yang sering diabaikan oleh para pemimpin dunia. Ia mengkritik kondisi politik global dengan ketajaman luar biasa. Ia juga mengekspresikan keyakinan bahwa para aktor gerakan sosial adalah ‘orang miskin yang terorganisasi’ yang mampu mengubah keadaan ini dari akarnya. Paus Fransiskus mendorong Gereja Katolik untuk tidak menjauhi gerakan-gerakan sosial tersebut dan mendukung kepentingan mereka dengan segala kemampuannya. Namun, sayangnya aliansi ini tidak berhasil didorong dan diperluas, selain pertemuan dunia dalam skala yang lebih besar. Alasannya mungkin karena baik Gereja Katolik maupun kaum kiri tidak benar-benar siap untuk itu.

Dengan demikian, keduanya telah kehilangan kepekaan terhadap tanda-tanda zaman yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus di banyak bidang. Salah satu contohnya ialah kritik jelasnya terhadap digitalisasi yang secara signifikan mengubah hubungan manusia dan mengikuti logika komprehensif dari pemanfaatan semua aspek kehidupan.

Kritik serupa juga diajukan terhadap logika keuntungan kapitalisme yang kejam. Dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus melukiskan kapitalisme sebagai sebuah sistem ‘ekonomi yang membunuh’. Pernyatan itu telah menimbulkan banyak perlawanan.

KRITIK KAUM KIRI

Kritik dari kelompok kiri terhadap Fransiskus muncul karena sikapnya terhadap feminisme. Paus Fransiskus dikritik karena dianggap melanggengkan pandangan tradisional Gereja tentang perempuan sebagai pelayan dan ibu rumah tangga.

Kita juga tidak bertindak adil terhadapnya jika hanya menafsir sikap Fransiskus yang hati-hati dalam masalah penerimaan perempuan ke dalam jabatan imam sebagai antifeminisme. Hal itu perlu kita hubungkan dengan kritiknya terhadap klerikalisme di dalam Gereja secara umum, yang menjadikan para imam sebagai kelompok Kristen kelas satu. Paus Fransiskus sadar bahwa penahbisan perempuan juga tidak akan banyak mengubah klerikalisme ini.

Sikap di atas berkelindan erat dengan pandangan Paus Fransiskus terhadap masalah pembaruan Gereja secara keseluruhan. Reformasi struktural, misalnya menuju demokratisas dalam Gereja melalui tingkat partisipasi yang lebih tinggi, menurut pandangannya, memiliki makna jika tetap terhubung dengan orientasi yang konsisten pada Injil, dan dengan demikian pada orang-orang miskin dan terpinggirkan di dunia ini. Orientasi ini penting untuk membantu Gereja dalam melayani karya sosial dan ekologis yang baru. Hal itu tidak dipahami secara utuh oleh kelompok kiri yang menginginkan perubahan radikal, tapi lebih suka mengambil sikap sebagai penonton.

Mungkin ini salah satu tragedi sejati dari kepemimpinan Paus Fransiskus: terlalu banyak yang mengkritik atau mengagumi dan terlalu sedikit yang mengisi ruang-ruang kemungkinan yang telah dibuka oleh Paus Fransiskus. Syarat-syarat untuk pembaruan sesungguhnya cukup banyak diciptakan oleh Paus Fransiskus. Namun, dengan kematiannya, jendela waktu ini kini tertutup.

Namum, tugas panggilan kita sekarang untuk terus menghidupkan warisan Paus Fransiskus ini. Kita perlu membangun aliansi lintas agama dan bangsa untuk terus melawan ketidaksetaraan, perlombaan senjata, rezim populisme kanan, dan nasionalisme sempit yang membunuh demokrasi.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |