Mobilisasi Pendanaan Iklim dari Sektor Swasta

22 hours ago 8
Mobilisasi Pendanaan Iklim dari Sektor Swasta EXECUTIVE FORUM: Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Boby Wahyu Hernawan (ketiga dari kiri) berbincang dengan (dari kiri) Direktur Pengawasan Emiten dan Perusahaan Publik I OJK M. M(MI/SUSANTO)

KONTRIBUSI sektor swasta dan lembaga keuangan sangat diperlukan dalam mengarahkan investasi ke proyek-proyek berkelanjutan serta berinovasi dalam skema pendanaan. Mobilisasi pendanaan dari sektor swasta untuk transisi energi menjadi faktor signifikan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. Hal ini disampaikan Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI Boby Wahyu dalam acara Executive Forum: Kesiapan Dana Swasta Indonesia Dalam Pembiayaan Iklim di The Tribrata Hotel & Convention Center, Jakarta, Jumat (25/4).

“Mobilisasi pendanaan ini penting. Sektor swasta harus mengambil langkah proaktif untuk mengurangi emisi karbon, mengadopsi praktik berkelanjutan, dan berinvestasi dalam teknologi hijau,” ujar Boby.

Selain itu, Boby mendorong pelaku usaha untuk berperan dalam advokasi kebijakan transisi hijau. Menurutnya, pelaku bisnis harus mampu meningkatkan kesadaran konsumen terhadap jejak karbon dari produk atau jasa yang mereka gunakan.

Pihaknya juga . “Ini termasuk juga meningkatkan teknologi baru yang berkaitan dengan efisiensi energi,” ucapnya.

Komitmen

Boby mengatakan pemerintah menunjukan komitmen yang serius terhadap penanganan masalah iklim. Dalam bidang pembiayaan, Indonesia tercatat sebagai pionir dalam penerbitan Green Sukuk di pasar global sejak 2018, dengan nilai green sukuk ritel domestik mencapai Rp35,75 triliun. Pemerintah juga menerbitkan SDG Bond senilai US$500 juta dolar AS, serta Samurai Blue Bond untuk pasar Jepang pada 2023–2024.

Di luar APBN, lanjut Boby, pemerintah aktif mengembangkan berbagai platform blended finance yang menggabungkan pembiayaan publik, swasta, dan dana internasional. Beberapa di antaranya adalah platform SDG Indonesia One dan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform yang dikelola oleh PT SMI.

Melalui JETP, Indonesia telah memperoleh tambahan komitmen pendanaan menjadi 21,6 miliar dolar AS setelah peluncuran Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan atau CIPP) pada 2023.

Kesenjangan

Boby mengungkapkan dukungan pendanaan swasta penting karena ada kesenjangan pendanaan transisi energi yang besar. Sementara, kapasitas ruang fiskal negara amat terbatas dalam mendanai aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Berdasarkan laporannya, APBN hanya mampu memenuhi sekitar 12,3% dari total kebutuhan pendanaan aksi iklim yang diperkirakan mencapai Rp4.000 triliun hingga 2030. 

Boby menjelaskan berdasarkan data Penandaan Anggaran Iklim (Climate Budget Tagging/CBT) menunjukkan sejak 2016 hingga 2023, pemerintah telah merealisasikan anggaran rata-rata masih minim hanya sebesar Rp76,3 triliun per tahun untuk aksi iklim. Jumlah ini setara dengan sekitar 3,2% dari total APBN tahunan, dengan akumulasi total mencapai Rp610,12 triliun. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan lebih dari US$1 triliun hingga 2060 untuk mencapai target NZE. 

Swasta Minim Kontribusi

Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Tiza Mafira menyampaikan porsi pendanaan aksi iklim di Indonesia masih lebih banyak ditopang oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dibandingkan kontribusi sektor swasta. 

Dari catatan CPI, Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$285 miliar atau sekitar Rp4.794 triliun (kurs Rp16.829) untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 2030. Dari jumlah tersebut, pemerintah diperkirakan hanya mampu menutupi sekitar 34% atau sekitar US$96,9 miliar. 

Terdapat kesenjangan pembiayaan hingga US$188 miliar yang harus ditutupi melalui kontribusi sektor swasta, lembaga keuangan internasional, serta sumber lainnya. “Selama ini, pendanaan iklim sebagian besar berasal dari APBN. Saya tidak mengatakan APBN itu sudah cukup, justru pendanaan seharusnya lebih banyak datang dari swasta,” tutur Tiza.

Bertumbuh

Direktur Pengawasan Emiten dan Perusahaan Publik I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), M. Maulana, mengungkapkan bahwa hingga 24 April 2024, besaran obligasi hijau (green bond) yang telah diterbitkan mencapai Rp11,91 triliun. 

“Sejak 2022 hingga 2024, penerbitan sustainability bond mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dengan total mencapai Rp31,67 triliun,” ujar Maulana.

Lebih lanjut, Maulana menekankan dalam sustainability reporting atau pelaporan keberlanjutan yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan dapat dimanfaatkan investor untuk menilai emiten-emiten yang memiliki komitmen dalam meningkatkan kualitas lingkungan.

Meski demikian, ia mengingatkan adanya tantangan besar yang masih harus dihadapi, yaitu terkait tingkat kesadaran investor terhadap isu-isu lingkungan. “Berdasarkan riset kami, banyak investor yang belum sepenuhnya mengarah pada kepedulian terhadap isu lingkungan,” katanya.

Tren pembiayaan

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indah Iramadhini menyampaikan tren pembiayaan hijau di Indonesia menunjukkan perkembangan positif. OJK mencatat, total kredit atau pembiayaan berkelanjutan yang telah disalurkan mencapai Rp1.959 triliun sepanjang 2023, ini tumbuh 11,55% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sementara itu, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono menambahkan pihaknya telah menghadirkan berbagai inisiatif, seperti model investasi hijau. Yakni, penerbitan green bond dan GSS bond (Green, Social, and Sustainability bond), indeks iklim (climate index) serta environmental, social and governance (ESG) risk rating. 

Denny menuturkan BEI juga terus berupaya mempermudah investor dalam menggunakan taksonomi hijau. Saat ini, BEI tengah menyiapkan program Green Equity Designation yaitu, sistem pelabelan bagi emiten yang mematuhi taksonomi hijau. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |