
TAK jauh dari Yerusalem, para arkeolog menemukan makam abad ke-5 yang berisi jenazah seseorang yang dibalut rantai besi berat. Namun, yang menjadi kejutan ialah pertapaan dengan siksaan tubuh ini ternyata seorang perempuan.
Penggalian di kompleks makam biara Bizantium di Khirbat el-Masani, sekitar 3 kilometer barat laut Kota Tua Yerusalem, mengungkap kerangka pria, perempuan, dan anak-anak. Salah satu makam berisi tulang-belulang yang terselimuti rantai besi, yang awalnya diduga milik seorang pria. Namun, penelitian lebih lanjut membuktikan jenazah tersebut adalah perempuan yang menjalani hidup sebagai pertapa dengan membatasi gerakan tubuhnya menggunakan rantai.
Tradisi Pertapaan Ekstrem dalam Kekristenan Awal
Setelah Kekristenan menjadi agama utama Kekaisaran Romawi pada 380 M, praktik pertapaan berkembang pesat. Para biksu dan pertapa menjalani hidup sederhana dan menjauhi kesenangan duniawi demi tujuan spiritual. Salah satu bentuk pertapaan yang ekstrem adalah hidup di atas pilar sambil berdoa dan mengenakan rantai berat sebagai simbol pengendalian diri.
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Archaeological Science: Reports (April 2024), para peneliti awalnya ingin memastikan individu dalam makam ini adalah laki-laki. Namun, hasil penelitian justru mengejutkan, tulang yang terkubur dalam rantai itu ternyata milik seorang perempuan.
Bagaimana Ilmuwan Memastikan Identitas Perempuan Ini?
Kerangka tersebut dalam kondisi kurang terawat, sehingga para peneliti menganalisis enamel gigi untuk menentukan jenis kelamin biologisnya. Mereka menemukan gen AMELX, yang terdapat pada kromosom X, namun tidak menemukan gen AMELY, yang hanya ada pada kromosom Y pria.
Dengan demikian, dipastikan individu ini memiliki dua kromosom X, yang berarti perempuan secara biologis. Namun, para peneliti menegaskan hasil ini hanya menunjukkan jenis kelamin biologisnya, bukan identitas gender yang ia anut selama hidupnya.
Pertapa Perempuan yang Langka dalam Sejarah
Menurut catatan sejarah, pertapa perempuan memang ada, terutama dari kalangan bangsawan sejak abad ke-4. Namun, mereka umumnya memilih praktik yang lebih ringan, seperti berdoa, berpuasa, dan bermeditasi, dibandingkan dengan praktik ekstrem yang dilakukan pria, seperti mengenakan rantai.
Mengapa rantai digunakan dalam pertapaan? Elisabetta Boaretto, arkeolog dari Weizmann Institute of Science, menjelaskan rantai berfungsi sebagai alat pengendalian tubuh agar seseorang bisa lebih fokus pada ibadah dan hubungan dengan Tuhan.
Meskipun beberapa makam pertapa berantai pernah ditemukan sebelumnya, temuan ini sangat langka karena menunjukkan seorang perempuan juga menjalani praktik ini. Boaretto menambahkan rantai tersebut kemungkinan merupakan bagian dari identitas spiritualnya, sehingga penguburannya dilakukan dengan tetap mengenakan rantai, sebagai penghormatan atas komitmennya dalam menjalani hidup sebagai pertapa. (Live Science/Z-2)