Menolak Rencana Relokasi Penduduk Gaza ke Indonesia

2 weeks ago 13
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

SEIRING dengan berbagai kekhawatiran soal keberlanjutan gencatan senjata di Gaza, Indonesia disebut-sebut dalam berbagai rencana masa depan kawasan tersebut. Dalam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Erdogan beberapa waktu lalu, selain menyepakati kerja sama di berbagai bidang, keduanya juga menegaskan komitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina.

Kedua kepala negara juga menyatakan keinginan untuk bekerja sama dalam mendukung pembangunan kembali Gaza, yang menurut Erdogan mengalami kerusakan material setidaknya senilai US$100 miliar (di luar korban jiwa, termasuk anak-anak dan perempuan) akibat agresi Israel kali ini.

Namun, salah satu yang menarik perhatian publik ialah disebutnya Indonesia dalam rencana kontroversial untuk melakukan relokasi terhadap penduduk Gaza ke luar Palestina. Nama Indonesia disebut dalam wawancara NBC dengan Steve Witkoff, utusan khusus Donald Trump untuk Timur Tengah. Saat menjelaskan berbagai kerumitan dalam rencana masa depan untuk Gaza, Witkoff sempat menyebut berbagai pembicaraan di dalam pemerintah AS, termasuk ide untuk merelokasi penduduk Gaza yang kehilangan tempat hidup yang layak untuk dipindahkan ke berbagai negara lain, termasuk ke Indonesia.

Relokasi penduduk Gaza sendiri sebenarnya merupakan salah satu rencana yang didesakkan oleh kelompok-kelompok sayap kanan di Israel sejak lama untuk mengambil alih wilayah Gaza. Jadi sebenarnya bukan gagasan yang benar-benar baru.

Disebutnya Indonesia oleh Witkoff kemudian diambil sebagai kesempatan untuk menghidupkan kembali gagasan lama tersebut guna mendesak AS dan negara-negara lain, termasuk Indonesia, oleh berbagai media Israel seperti The Times of Israel dan The Jerusalem Post yang membuat pemberitaan dengan judul besar tentang rencana relokasi penduduk Gaza ke Indonesia.

Para pendengung Israel, seperti Eylon Levi, juga mendorong narasi yang sama di media sosial dengan framing bahwa kalau Indonesia menolak, maka Indonesia tidak mau membantu Palestina. Padahal, penduduk Palestina yang pernah mengalami Nakba meyakini bahwa relokasi penduduk Gaza merupakan langkah pembersihan etnis, sehingga justru berharap Indonesia menolak rencana tersebut.

Pemerintah Indonesia dengan cepat menegaskan sikap Indonesia terhadap rencana tersebut. Melalui pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa pemerintah RI tidak pernah memperoleh informasi apa pun, dari siapa pun, maupun rencana apa pun terkait relokasi sebagian dari 2 juta penduduk Gaza ke Indonesia sebagai salah satu bagian dari upaya rekonstruksi pascakonflik, juga melihat bahwa segala upaya untuk memindahkan warga Gaza tidak dapat diterima. Namun, kontroversi ini terus bergulir.

PERNYATAAN TRUMP

Beberapa waktu setelah pernyataan Witkoff yang masih berhati-hati, Presiden Donald Trump membuat pernyataan yang lebih kontroversial dengan terang-terangan. Ia menyatakan bahwa AS akan mengambil alih Gaza untuk dibangun kembali menjadi sebuah kawasan hunian mewah (‘Riviera’), memindahkan penduduk Gaza (yang disebutnya telah menjadi kawasan yang hancur dengan peradaban yang hilang), dan meminta negara-negara lain seperti Yordania dan Mesir untuk menerima para penduduk Gaza yang dipindahkan tersebut.

Pernyataan ini dengan segera mendapat kecaman dan penolakan dari Sekjen PBB Antonio Gutteres, para pemimpin negara-negara Arab (termasuk Mesir dan Arab Saudi, kecuali Uni Emirat Arab), dan bahkan sekutu-sekutu AS seperti Eropa. Berbagai faksi Palestina sendiri juga dengan tegas menyatakan kecaman dan penolakan terhadap rencana tersebut.

Meskipun Indonesia tidak terlalu tampak dalam rencana Trump tersebut karena Trump berfokus pada Mesir dan Yordania, pernyataan Trump juga memengaruhi berbagai elite Indonesia. Terdapat kabar bahwa ada segelintir elite Indonesia yang mendorong gagasan ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan bantuan dan investasi untuk membiayai berbagai proyek ambisius yang sekarang kesulitan anggaran, sekaligus sebagai jalan untuk melanjutkan rencana membangun hubungan diplomatik dengan Israel yang terus mendapat penolakan dari publik.

Sebagai warga negara, saya menilai bahwa penting untuk menimbang dengan jernih ketiga opsi keterlibatan Indonesia untuk memastikan bahwa pilihan yang diambil akan membawa keuntungan bagi bangsa Indonesia, dan pada saat yang bersamaan konsisten dengan nilai-nilai falsafah dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.

Untuk itu, kita perlu menimbangnya setidaknya dengan tiga ukuran: kepentingan pragmatis jangka pendek, kepentingan strategis jangka panjang, serta kesesuaian dengan nilai-nilai dan falsafah yang kita anut sebagai bangsa Indonesia. Selain itu, satu faktor lain yang patut dipertimbangkan pemerintah ialah stabilitas politik nasional.

PERTIMBANGAN 3+1

Jika menggunakan parameter 3+1 tersebut, skenario menerima relokasi penduduk Gaza di Indonesia sebagai bagian dari upaya pemindahan penduduk Palestina yang dikemukakan Trump merupakan sesuatu yang tidak memenuhi kriteria sehingga tidak dapat diterima. Manfaatnya lebih kecil dan belum tentu, sementara madaratnya jelas jauh lebih besar dan lebih pasti.

Satu-satunya yang mungkin bernilai positif ialah dari kriteria pragmatis jangka pendek. Terdapat rumor yang mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan janji investasi dari AS dan sekutu Israel lainnya, dan bahkan termasuk dari Israel sendiri jika Indonesia mau menjalin hubungan resmi dengan Israel.

Di masa pemerintahan Donald Trump yang pertama, AS pernah menjanjikan investasi sebesar US$1 miliar jika Indonesia mau menormalisasi hubungan dengan Israel. Beberapa pejabat Indonesia dikabarkan juga telah bertemu dengan pejabat Israel untuk membicarakan kerja sama di sektor pertanian.

Janji investasi yang besar semacam itu tentu menggiurkan bagi sebuah pemerintahan yang memiliki ruang fiskal yang sempit karena tagihan utang yang besar sekaligus megaproyek seperti IKN. Per 2025 ini saja, utang jatuh tempo pemerintah mencapai Rp800,33 triliun. Tahun 2026 juga diperkirakan lebih besar lagi, Rp803,19 triliun.

Namun, patut diingat bahkan potensi-potensi keuntungan jangka pendek ini pun sangat potensial hanya menjadi fatamorgana. Secara rekam jejak, beberapa janji bantuan AS, seperti yang terakhir dalam skema Just Energy Transition Partnership, sering kali tidak mewujud dengan optimal.

Dari segi investasi dari swasta pun, para pengusaha AS juga sering sulit berinvestasi di Indonesia meski sudah didorong pemerintahnya karena berbagai faktor, mulai dari regulasi TKDN, korupsi, dan daya saingnya dengan negara lain seperti Vietnam. Bahkan upaya penyederhanaan berbagai aturan investasi melalui omnibus law saja belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi daya tarik investasi Indonesia.

Apalagi, AS juga sedang berkonsentrasi membangun kembali industri domestiknya. Bahkan Ukraina dan Eropa yang merupakan sekutu dekat saja terancam ditinggal. Janji investasi dari sekutu AS dan Israel yang lain juga belum tentu mewujud, sebagaimana berbagai janji investor asing untuk IKN.

Dengan demikian, bahkan dalam ukuran pragmatis jangka pendek saja keuntungan yang diharapkan belum tentu hadir, meski para promotornya pasti menjajakan janji manis untuk menggadaikan komitmen pada kemanusiaan dan Pancasila.

Dari aspek dampak strategis jangka panjang, sikap Indonesia yang menunjukkan bahwa berbagai pernyataan resminya yang teguh menolak pemindahan penduduk Palestina dari tanahnya karena hal tersebut melanggar hukum internasional, ternyata bisa berubah dengan mudah dengan ‘dibeli’, membuat Indonesia dilihat sebagai negara yang komitmennya tidak bisa dipegang serta bisa dibeli dengan mudah dan murah.

Hal ini tentu bertentangan dengan keyakinan Presiden Prabowo bahwa Indonesia harus menjadi negara yang besar dan memiliki harga diri. Apalagi, berbagai kontribusi Indonesia di Palestina pun mendapatkan pelecehan dari Israel. Doctors Without Borders melaporkan bahwa semua alat medis di Rumah Sakit Indonesia dihancurkan tanpa alasan, kecuali memang mau menimpakan penderitaan pada penduduk sipil.

Dalam sistem internasional yang semakin dinamis, kesan sebagai negara yang tidak bisa dipegang komitmennya, mudah dibeli, dan tidak memiliki harga diri akan membuat Indonesia kehilangan kepercayaan dari berbagai aktor internasional yang penting. Ini justru akan membuat Indonesia kehilangan berbagai potensi mitra di berbagai bidang, baik keamanan maupun ekonomi. Dalam ungkapan Jawa, kita menyebutnya golek uceng kelangan deleg.

Dalam kriteria yang ketiga, kesesuaian dengan nilai-nilai, jelas hal itu bertentangan dengan nilai-nilai ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ sekaligus bertentangan dengan hukum internasional. Berbagai kelompok dalam rakyat Palestina sendiri sudah menyatakan penolakan dengan tegas untuk rencana pemindahan tersebut.

Sekjen PBB Antonio Gutteres, sekutu-sekutu AS seperti Eropa, dan berbagai pihak juga sudah menyebutkan bahwa hal tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk membuat Indonesia melanggar hukum internasional dan nilai-nilai Pancasila.

Di samping itu, dampak domestiknya juga tidak akan positif. Di tengah upaya untuk memulai program-program prioritas di awal pemerintahan, Prabowo memerlukan stabilitas politik yang mantap. Mengiyakan keinginan Israel dan AS untuk merelokasi penduduk Gaza ke Indonesia hanya akan menyulut kontroversi yang tidak perlu dan mengancam stabilitas pemerintah Prabowo.

PERAN ALTERNATIF

Hanya orang-orang tidak taat konstitusi, tidak rasional, cacat moral, sekaligus punya kepentingan untuk menggoyang stabilitas pemerintahan Prabowo yang akan mendorong Indonesia supaya setuju dengan usul pembersihan etnis berjudul ‘relokasi penduduk Gaza ke Indonesia’.

Daripada menghidupkan rencana yang bertentangan dengan Pancasila tersebut, lebih baik bagi Indonesia untuk menebalkan komitmen untuk terlibat dalam pembangunan kembali Gaza dan mendorong solusi politik berkelanjutan untuk kemerdekaan Palestina dan perdamaian kawasan.

Indonesia bisa mendorong masyarakat internasional untuk memaksa Israel membiarkan bantuan kemanusiaan, termasuk tempat tinggal semipermanen, untuk masuk ke Gaza. Indonesia juga bisa bekerja sama dengan berbagai negara lain untuk mengoordinasikan kontribusi guna membangun kembali infrastruktur Gaza, termasuk membangun dan mengisi dua rumah sakit Indonesia yang dihancurkan Israel.

Indonesia juga dapat berperan dengan memperbanyak beasiswa untuk dokter dan berbagai profesi lainnya bagi penduduk Palestina, karena terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap para pekerja medis, sebagaimana laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan.

Peran-peran yang lebih positif tersebut lebih konsisten dengan Visi Indonesia Emas 2045 dan Astacita yang diperjuangkan oleh Presiden Prabowo.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |