
HARI Buruh Internasional atau May Day merupakan satu peringatan dalam rangkaian perjuangan untuk mengawal berbagai peraturan yang terkait dengan kesejahteraan kaum buruh dan juga mendorong kebangkitan industri di Indonesia dalam berbagai sektor.
Kali ini, kalangan buruh di Tanah Air antusias dengan rencana hadirnya Presiden Prabowo Subianto pada peringatan May Day di Lapangan Silang Monas, Jakarta, pada Kamis (1/5).
Ungkapan itu disampaikan oleh pimpinan 48 federasi buruh/serikat pekerja dalam konferensi pers menyambut peringatan Hari Buruh di kantor KSPSI, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (29/4) sore.
"Ini adalah momen sejarah bagi gerakan buruh Indonesia, yang memberikan jalan terang bagi kesejahteraan buruh dan kebangkitan industri di Tanah Air," ujar Moh Jumhur Hidayat, Ketua Umum KSPSI.
Menurutnya, kehadiran Presiden yang adalah kepala pemerintahan tertinggi dan pemegang kekuasaan membuat UU atau peraturan lainnya dipandang sangat berarti bagi kaum buruh.
"Peringatan ini terasa sangat berbeda dengan peringatan-peringatan sebelumnya," kata Jumhur.
Sempurnakan UU Ketenagakerjaan
Para buruh yang tergabung dalam 48 federasi serikat pekerja/serikat buruh dalam kesempatan ini menuntut pemerintah agar segera menyempurnakan undang-undang ketenagakerjaan yang lebih adil bagi semua.
Mereka juga menuntut pemerintah agar segera menerbitkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat menyoroti lambannya pembahasan RUU PPRT yang juga belum ada titik terang selama hampir 15 tahun terakhir.
Berlarut atau mandeknya RUU PPRT, ujarMirah, membuat posisi PRT di Tanah Air rentan menjadi korban eksploitasi dan tidak memiliki perlindungan hukum, jaminan sosial dan kesehatan, dan kesejahteraan yang memadai.
“Dampaknya dalam tanda petik terjadinya perbudakan modern, menurut saya itu sudah terjadi,” tandas Mirah.
Mirah juga menyoroti hak cuti haid yang seolah ada dan tiada. Ia menemukan di lapangan banyak pekerja perempuan yang tidak tahu mereka memiliki hak tersebut seperti diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja atau UU Cipta Kerja. Ada yang tahu namun enggan mengambilnya karena menghadapi lingkungan kantor yang tidak mendukung dan harus melampirkan surat keterangan dokter yang berbelit.
“Selama saya advokasi di lapangan, saya menemukan kawan-kawan pekerja perempuan itu tidak mengambil hak cuti haid karena khawatir, sebab terlalu berbelit-belit perusahaan kalau mengajukan. Perusahaan tidak percaya dan malah ada yang ekstrem beberapa kasus perusahaan yang memberlakukan pemeriksaan ketika pekerja perempuan cuti haid,” jelas Mirah.
“Memang yang mendampingi pemeriksaan adalah sekuriti perempuan, tapi kan tidak etis juga. Dan ada (manajemen perusahaan) yang meragukan surat dokter yang diberikan. Ini kan menyangkut sumpah dokter kenapa itu harus dilakukan (pemeriksaan) juga oleh perusahaan,” imbuhnya.
Ia berharap pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas tenaga kerja harus lebih aktif lagi memberikan sosialisasi kepada lulusan SMK/SMA dan perguruan tinggi yang masuk ke dunia kerja.
Menurutnya, peran pekerja atau buruh perempuan bagi perekonomian nasional sangat penting. Pekerja perempuan mendominasi hampir 70% dari total tenaga kerja nasional yang berjumlah sekitar 142 juta orang pada 2024. Karena peran mereka yang penting itu pemerintah harus memiliki atensi khusus untuk pemberdayaan perempuan.
“Kan ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan, saya minta dengan sangat hormat jangan hanya mengurusi yang terkena kasus. Kalau ada kasus baru ngurusin. Seharusnya mereka lebih aktif pada pengembangan pemberdayaan perempuan agar bisa berkontribusi secara maksimal untuk pengembangan ekonomi negara. Kalau ekonomi negara bagus tentunya berdampak pada kesejahteraan ekonomi rumah tangga,” tandas Mirah. (B-3)