
INDONESIA diimbau untuk menjaga keseimbangan dalam diplomasi pertahanan baik dengan Tiongkok maupun dengan pihak lain, termasuk dengan negara-negara Barat. Hubungan baik dalam aspek pertahanan dengan Tiongkok agar dilaksanakan secara hati-hati tanpa mengorbankan kemitraan strategis dengan negara lain.
Pandangan di atas menjadi titik temu dari beberapa pembicara dan penanggap dalam seminar publik berjudul Jatuh Bangun Hubungan Pertahanan dan Keamanan Indonesia-China,” yang diselenggarakan oleh Prodi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI), Forum Sinologi Indonesia (FSI), dan Indonesian Maritime Initiative (Indomasive).
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave AF Laksono, memaparkan bahwa kerja sama pertahanan masih menjadi aspek paling lemah dalam hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok. “Indonesia memang menyambut baik kerja sama dalam bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infastruktur, tetapi menjadi berbeda ketika menyangkut isu pertahanan,” kata dia, dikutip Rabu (5/3).
Politikus Partai Golkar itu membeberkan beberapa hal yang menjadi hambatan bagi hubungan kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Tiongkok. Pertama, sikap konfrontatif Tiongkok di Laut Cina Selatan (LCS) dan tindakan tegas Indonesia terhadap kapal-kapal ikan ilegal Tiongkok dan sub-marine drone (kapal tanpa awak bahwa laut) Tiongkok.
Menurut Dave, ketegangan di LCS menjadi alasan bagi Indonesia untuk menghentikan latihan militer sharp knife antara Indonesia-Tiongkok pada 2015. Kedua, alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpalhankam) Indonesia lebih banyak berasal dari negara Barat yang berkiblat pada NATO, padahal Tiongkok bersama Rusia bersikap anti terhadap NATO.
Ketiga, sambung dia, adalah adanya warisan sejarah yang masih membentuk persepsi yang anti terhadap kehadiran Tiongkok.
Dave pun memaparkan potensi risiko bagi Indonesia dalam menjalin hubungan kerja sama pertahanan dengan Tiongkok. Menurutnya, salah satu risiko yang timbul adalah ketegangan dengan negara lain, khususnya dengan negara Barat yang selalu menganggap Tiongkok sebagai potensi ancaman bagi mereka.
Risiko kedua terkait dengan kontrol dan pengaruh. “Ada risiko bahwa Cina dapat menggunakan kerja sama ini untuk meningkatkan pengaruhnya atas keputusan strategis Indonesia, termasuk dalam hal kebijakan luar negeri dan pertahanan. Ada kekhawatiran bahwa kita akan didikte oleh Cina,” katanya.
Namun, Dave menegaskan bahwa selama ini risiko di atas baru sebatas kekhawatiran saja karena belum pernah terjadi Indonesia didikte oleh Tiongkok. “Selama ini yang paling mungkin mendikte kita justru negara-negara Barat,” tuturnya.
Risiko ketiga adalah adanya asimetri keuntungan. Menurut dia, ada anggapan bahwa Tiongkok berpotensi mendapat keuntungan lebih banyak secara strategis dari pada Indonesia baik dari ekonomi maupun militer. Salah satunya adalah anggapan bahwa bahwa makin eratnya hubungan Indonesia dengan Tiongkok akan membahayakan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), khususnya yang berada dekat pulau Sulawesi, dan sebagai akibatnya akan mempengaruhi posisi Indonesia.
Risiko terakhir yang banyak dikhawatirkan ialah adanya ketergantungan teknologi Indonesia terhadap Tiongkok. Meski demikian, Dave juga menyatakan bahwa risiko ketergantungan tersebut bukan hanya menyangkut teknologi dari Tiongkok, tetapi juga menyangkut teknologi dari negara-negara lain.
Selain Dave Laksono, Laksamana Muda (Purn) Surya Wiranto dan Direktur Eksekutif Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI) Curie Maharani, juga menyampaikan pandangannya. Kedua pakar tersebut sepakat bahwa hubungan kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok memiliki sisi keuntungan dan kerugian bagi Indonesia.
Curie menyampaikan fakta bahwa Tiongkok berpotensi menjadi sumber bagi impor senjata bagi Indonesia tanpa ikatan politik merupakan salah satu keuntungan bagi Indonesia.
Keuntungan lainnya adalah potensi Tiongkok memberikan transfer teknologi pada Indonesia, meskipun hingga saat ini, Indonesia belum pernah mendapatkan alih teknologi dari Tiongkok.
Sementara itu, Surya Wiranto memandang kerugian dari hubungan kerja sama pertahanan kedua negara tersebut adalah adanya potensi ketergantungan Indonesia pada ekonomi dan teknologi dari Tiongkok, risiko dan ancaman terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di wilayah yang diklaim oleh Tiongkok, terutama di Laut Natuna Utara, serta potensi kerja sama pertahanan dengan Tiongkok memicu perlombaan senjata di Kawasan Asia-Pasifik.
Menurut Surya, potensi kerugian di atas harus diatasi oleh Indonesia dengan menjalankan beberapa langkah strategis. Pertama, melakukan penguatan diplomasi multilateral dengan melibatkan berbagai negara dalam forum internasional, termasuk Asean.
Kedua, menjaga transparansi dalam kerja sama pertahanan dengan Tiongkok. “Dengan menjelaskan tujuan dan manfaat dari kerja sama tersebut kepada publik dan mitra internasional, Indonesia dapat mengurangi kekhawatiran yang muncul dari pihak ketiga."
Ketiga, imbuh Surya, adalah dengan meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia.
Sementara itu, dalam pernyataan penutupnya, Ketua FSI yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto menyampaikan pandangan bahwa Indonesia perlu mempelajari maksud Tiongkok dalam menjalin hubungan pertahanan dengan Indonesia.
“Sangat mungkin Beijing berupaya menggunakan peningkatan kerja sama untuk membuat pihak militer Indonesia lebih lunak ketika Tiongkok melakukan aksi sepihak, yaitu berusaha untuk menegakan klaim kewilayahan mereka di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” tutur Johanes.
Menurutnya, Beijing juga sangat mungkin berupaya dan berharap agar terjadi ketergantungan Indonesia terhadap alutsista dari Tiongkok.
Selain itu, patut pula untuk dipertimbangkan kemungkinan pihak-pihak lain, termasuk negara-negara Barat, memiliki kekhawatiran bahwa Tiongkok berupaya memperoleh informasi lebih banyak tentang militer mereka melalui kerja sama Tiongkok dengan Indonesia, mengingat Indonesia sudah lebih dahulu membangun kerja sama dengan pihak-pihak lain tersebut.
Ia menilai kekhawatiran ini berpotensi memicu keengganan pihak-pihak di luar Tiongkok untuk meningkatkan kerja sama militer mereka dengan Indonesia.
Namun demikian Indonesia justru bisa menggunakan kerja sama pertahanan Indonesia-Tiongkok untuk kepentingan Indonesia. Misalnya dengan menggunakan forum kerja sama pertahanan untuk menyampaikan protes atau keberatan terhadap tindakan Tiongkok yang sering bermanuver di Laut Natuna Utara. Atau justru mensyaratkan agar Tiongkok berhenti menimbulkan gangguan di LNU bila Tiongkok berminat melanjutkan atau meningkatkan kerja sama pertahanan dengan Indonesia.
Bisa juga kita mensyaratkan agar Tiongkok berhenti menimbulkan gangguan di Laut Natuna Utara bila Tiongkok berminat melanjutkan atau meningkatkan kerja sama pertahanan dengan Indonesia. (P-2)