
Sejumlah sejarawan dan tokoh publik yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak proyek penulisan sejarah resmi Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan RI. Hal itu disampaikan dalam sebuah manifesto yang dibacakan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (19/5).
Penolakan itu berdasarkan beberapa pokok pemikiran. Pertama, rencana penulisan sejarah Indonesia secara nyata dianggap merupakan kehendak untuk melaksanakan suatu proyek yang masif berupa rekayasa masa lalu bangsa Indonesia dengan tafsir tunggal.
“Dalam lingkup proses rekayasa itu tampak tertanam tujuan pokok kepentingan pemerintah untuk menegakkan suatu bangunan atau rekonstruksi sejarah monumental tertentu. Tindakan itu merupakan cara halus pemerintah untuk mengontrol pemikiran rakyat dan memonopoli kebenaran atas sejarah bangsa,” ungkap Ketua AKSI Marzuki Darusman.
Atas dasar fiksi politik tersebut, pemerintah dianggap menggunakan mandat sejarah untuk menegakkan suatu tatanan politik atau orde tertentu. Pada poin lain, seluruh proyek penulisan sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan dinilai sebagai sebuah sejarah buatan yang melebihi interpretasi tentang sejarah sebagai sumber daya ilham politik dan identitas kebangsaan.
“Pemerintah bukanlah satu-satunya penafsir tunggal atas sejarah bangsa. Suara rakyat sebagai korban dari tindakan dan kebijakan pemerintah tidak boleh dihilangkan haknya untuk menjelaskan pengalaman sejarahnya,” tambah Wakil Ketua AKSI Sulistyowati Irianto.
Selain itu, pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia disebut telah menjadi rujukan sejarah dunia. “Penjamahan sejarah sekecil apa pun oleh kekuasaan, apalagi penulisan sejarah tunggal Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan, perlu dihentikan dan ditolak,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam yang turut membacakan manifesto itu.
Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyatakan pihaknya menerima manifesto ini sebagai masukan yang berharga untuk melakukan komunikasi dengan Kementerian Kebudayaan. Ia memastikan Komisi X akan ikut terlibat dalam proses pembahasan ini.
“Kalau terkait proses substantifnya terus terang kami pun belum pernah bertemu (Kementerian Kebudayaan) untuk membahas apa persisnya hal-hal yang akan direvisi atau bagaimana prosesnya dan sebagainya,” katanya.
Anggota Komisi X DPR yang juga seorang sejarawan, Bonnie Triyana, mengaku sempat menanyakan perihal penulisan sejarah itu dalam rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan sebelumnya. Ia menyampaikan perlunya uji publik supaya penulisan sejarah ini tidak mendadak dan muncul berbagai penolakan.
“Buku (tentang) sejarah Indonesia pertama itu kan Sejarah Nasional Indonesia. Itu diawali satu diskusi yang panjang, terbuka. Tahun 1957 ada Konferensi Sejarah Nasional Indonesia dihadiri oleh pemikir sejarah, intelektual-intelektual, yang bukunya disunting oleh Dr Sudjatmoko,” katanya.
“Itu menampung begitu banyak buah pemikiran dari para sejarawan yang kemudian digunakan untuk merumuskan Sejarah Nasional Indonesia sebagai identitas kita pascakemerdekaan. Tapi prosesnya ada seminar dulu, seminarnya terbuka, berbagai suara didengarkan, ada diskusi, ada perdebatan, ada polemik,” ungkapnya. (H-1)