Kelumpuhan tidur: Tak Bisa Bergerak Saat Bangun, Ini Penjelasan Ilmiahnya

5 hours ago 2
 Tak Bisa Bergerak Saat Bangun, Ini Penjelasan Ilmiahnya Ilustrasi(freepik)

Baland Jalal terbaring di tempat tidur dengan ketakutan, seolah mengalami film horor di dunia nyata. Ia tidak bisa bergerak atau berbicara, dan tidak tahu mengapa. 

Ia berpikir, “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” kata Jalal, yang kini berusia 39 tahun, mengenang momen tahun 2005 itu. “Aku mencoba memanggil ibu dan ayahku, tapi tak satu kata pun keluar dari tenggorokanku… Aku merasakan kehadiran menakutkan seperti monster, dan makhluk itu mengangkat-angkat kakiku.

Jenis halusinasi seperti itu adalah ciri khas bagi banyak orang yang mengalami kelumpuhan tidur (sleep paralysis). Hal ini terjadi saat tubuh berada dalam transisi masuk atau keluar dari tidur REM (rapid eye movement). "Otak kita yang terbangun dan siaga bertabrakan sejenak dengan tubuh yang masih tertidur dan lumpuh," jelas Dr. Matthew P. Walker, direktur Center for Human Sleep Science di University of California, Berkeley, melalui email.

Setelah tidur nyenyak, tidur REM adalah fase penting berikutnya dalam siklus tidur, yang ditandai dengan mimpi yang lebih nyata dan hidup, serta detak jantung dan pernapasan yang lebih cepat. Fase ini penting untuk memori, konsentrasi, regulasi suasana hati, dan fungsi kekebalan tubuh.

Menurut Cleveland Clinic, diperkirakan 30% orang di dunia pernah mengalami setidaknya satu episode kelumpuhan tidur sepanjang hidupnya. Jumlah orang yang mengalami kelumpuhan tidur berulang dan mengganggu belum jelas, tapi kemungkinan kecil, kata Jalal, peneliti di Departemen Psikologi Harvard University.

Ilmu dan gejala kelumpuhan tidur

Dalam tidur REM, tubuh menjadi lumpuh agar tidak bertindak sesuai mimpi dan membahayakan diri sendiri atau orang lain, kata Jalal. Episode kelumpuhan tidur biasanya berlangsung beberapa menit, tapi bisa sampai 20 menit, menurut Cleveland Clinic.

Namun, selama kelumpuhan tidur, “kita sadar sebelum otot-otot bebas dari kelumpuhan yang diinduksi REM,” kata Walker, yang juga profesor ilmu saraf dan psikologi di UC Berkeley.

Sekitar 40% orang dengan kelumpuhan tidur mengalami halusinasi visual, pendengaran, atau sentuhan, seperti tekanan di dada atau sensasi keluar dari tubuh, kata Jalal. Sekitar 90% dari mereka mengalami ilusi yang menakutkan.

Dalam penelitiannya, Jalal menemukan isi dan interpretasi halusinasi, pandangan tentang penyebab kelumpuhan tidur, serta frekuensi dan durasi episode sangat dipengaruhi budaya. Orang di Mesir dan Italia, misalnya, sering melihat penyihir dan jin jahat, menyalahkan mereka, dan percaya mereka bisa mati karena kelumpuhan tidur. Sebaliknya, di Denmark, Polandia, dan beberapa bagian Amerika Serikat cenderung memberikan penjelasan yang lebih rasional dan tidak terlalu takut.

Ketika kamu sadar tetapi lumpuh dan bingung, reaksi alami adalah ingin melarikan diri. Otakmu membombardir tubuh dengan sinyal untuk bergerak, tapi tubuh tak bisa membalasnya. Teori Jalal adalah otakmu menyerah dan mulai menciptakan cerita tentang apa yang mungkin sedang dialami tubuhmu berdasarkan gejala-gejala aneh tersebut.

"Aktivitas rendah di korteks prefrontal juga menyebabkan halusinasi menjadi sangat realistis dan penuh emosi, diperkuat oleh aktivitas tinggi amigdala, pusat alarm emosional otak,” kata Walker.

Penyebab dan faktor risiko kelumpuhan tidur

Meski para ilmuwan memahami kelumpuhan tidur terjadi akibat gangguan transisi antara tidur dan bangun, mereka belum sepenuhnya tahu penyebab pastinya. Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko tidur terfragmentasi dan kelumpuhan tidur.

Faktor-faktor tersebut termasuk stres dan kondisi terkait seperti kecemasan, gangguan stres pascatrauma (PTSD), gangguan bipolar, dan gangguan panik. Banyak episode kelumpuhan tidur Jalal terjadi saat ia masih sekolah. Kini, jika ia mengalaminya satu atau dua kali setahun, biasanya terjadi di masa-masa penuh stres, katanya. 

Faktor umum lainnya meliputi kurang tidur, jet lag, jadwal tidur yang tidak teratur, gangguan tidur seperti narkolepsi, dan faktor genetik, jelas Walker dan Jalal. Sleep apnea obstruktif, gangguan penggunaan zat, dan beberapa obat—seperti obat untuk ADHD—juga dapat meningkatkan risiko, menurut Cleveland Clinic.

Apakah kelumpuhan tidur berbahaya?

Meski terdengar mengerikan, kelumpuhan tidur sebenarnya tidak berbahaya, kata para ahli. Tapi jika sering terjadi, kelumpuhan tidur bisa menjadi tanda adanya gangguan tidur mendasar, kata Jalal.

Episode yang sering juga bisa menyebabkan kecemasan terhadap tidur dan membuat orang menghindari tidur. Pola ini dapat mengganggu energi harian dan kemampuan untuk berfungsi. Jika kamu sering mengalami halusinasi yang menakutkan, hal itu dapat menyebabkan kecemasan atau gejala mirip trauma.

Bagaimana kelumpuhan tidur ditangani?

Kelumpuhan tidur dapat dikurangi secara signifikan dengan berbagai kebiasaan sehat dan pengobatan, kata Walker. Menjaga jadwal tidur yang konsisten dalam kualitas dan kuantitas “ibarat menyelaraskan jam internal tubuhmu, mengurangi kemungkinan tumpang tindih antara tidur dan bangun—seperti memastikan semua bagian orkestra memainkan nada yang harmonis,” kata Walker.

Manajemen stres juga penting, misalnya dengan latihan mindfulness atau relaksasi. Terapi seperti cognitive behavioral therapy (CBT), terutama versi untuk insomnia, juga efektif dalam menangani penyebab mendasar.

Dalam kasus lebih serius, kadang digunakan obat-obatan, kata Walker. Misalnya SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) atau antidepresan trisiklik yang membantu memperlancar transisi antar fase tidur atau bahkan mengurangi durasi tidur REM.

Secara umum, peningkatan kadar serotonin di otak membantu menggantikan berkurangnya fase REM, kata Jalal. Namun penggunaan antidepresan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan perilaku tidur REM.

Meski berbagai pengobatan di atas bisa mengurangi frekuensi atau durasi kelumpuhan tidur, hingga kini belum ada metode standar emas untuk menghentikan episode saat sedang berlangsung.

Langkah-langkah terapinya adalah:

  1. Menilai ulang makna serangan secara kognitif. Tutup mata dan ingatkan diri bahwa pengalaman ini umum dan kamu tidak akan mati karenanya.
  2. Jarakkan diri secara emosional. Katakan pada dirimu bahwa otakmu hanya sedang mempermainkanmu, tidak ada alasan untuk takut atau memperburuk situasi dengan ekspektasi negatif.
  3. Fokus pada hal yang positif. Baik itu berdoa atau membayangkan wajah orang tercinta, pengalihan ini dapat menggantikan pikiran mengerikan dengan pikiran menyenangkan.
  4. Rilekskan otot dan jangan bergerak. Beberapa ahli menyarankan mencoba menggerakkan jari tangan atau kaki sedikit demi sedikit untuk keluar dari episode. Tapi Jalal menyarankan agar tidak bergerak karena mengirim sinyal ke otot yang lumpuh dapat memicu halusinasi.

Jalal juga menyarankan mempelajari dasar ilmiah kelumpuhan tidur agar bisa melihat pengalaman ini secara lebih objektif dan tidak terlalu menakutkan. (CNN/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |