PEDAGANG pempek asal Lubuk Linggau, Sumatra Selatan itu, dengan terisak mengaku salah di hadapan Kapolres Kota Jambi Kombes Boy Sutan Binanga Siregar, dan sejumlah wartawan di Mapolresta Jambi, Sabtu siang (3/5). Ia adalah Gutomo Edi Saputra, 33. Ayah tiga anak itu menyatakan bertanggung jawab atas kematian Anggi Anggara, 27, dalam sebuah pertengkaran Kamis pagi (1/5) di Pasar Angso Duo, Kota Jambi.
“Aku khilaf dan tidak sadar diri ketika itu. Aku menyesal, dan minta maaf,” ungkap Gutomo yang menurut sejumlah pedagang di pasar Angso Duo terbilang tunak alias baik dan pendiam. Sadar atas kesalahan, Gutomo diantar dengan sepeda motor mendatangi Mapolresta Jambi, menyerahkan diri.
“Yang bersangkutan sebelumnya, sempat bersembunyi di semak-semak dekat rumahnya di daerah Mayang. Kita mengapresiasi, sebelum ditangkap dia telah menyerahkan diri,” kata Kapolresta.
Kapolresta Jambi yang juga akrab dengan nama panggilan Boim itu menegaskan, apapun cerita pro-kontra terhadap tersangka maupun korbannya – seperti yang banyak beredar di jejaring sosial – Polresta Jambi akan menanganinya secara profesional, berdiri di jalur aturan hukum yang berkeadilan.
Dari penyelidikan dan fakta kejadian yang didapatkan, Boim mengatakan peristiwa kriminal yang sempat menghebohkan warga dan pedagang Pasar Angso Duo itu, dipicu masalah sepele. Berawal dari rasa tidak senang antara korban dan tersangka berpapasan saat bersepeda motor di lingkungan pasar, Kamis lalu. Korban, Anggi Anggara, yang memboncengi istrinya, nyaris adu fisik setelah cekcok mulut dengan tersangka. Namun, berhasil diredam oleh warga dan istri korban.
Sebelum pergi, Anggi sempat menendang bagian depan sepeda motor tersangka sambil melempar nada ancaman. “Kau tunggu yo," ucapnya saat itu.
Gutomo tidak melayaninya, dan melanjutkan kegiatan di Pasar Angso Duo. Celakanya, sekitar pukul 09.30 WIB, Anggi Anggara datang ke Pasar Angso Duo, mencari Gutomo. Ia ditemani seorang pria bernama Ferry. Saat bertemu Anggi, ayah satu anak itu mengayunkan batu bata ke kepala Gutomo hingga berdarah. Merasa terjepit dan harga dirinya dinjak-injak, Gutomo secara spontan berusaha melawan. Ia membuka tas dan mengambil sebilah pisau pemotong pempek dan kemudian mengayunkannya ke arah Anggi, lawannya.
Anggi berusaha lari, namun gagal. Gutomo dengan kalap berkali-kali menghujamkan pisau pemotong pempeknya ke tubuh Anggi. Teman korban tidak berdaya menghentikannya. Melihat korbannya tidak berdaya, Gutomo pun kabur dari pasar Angso Duo.
"Korban sempat dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapat pertolongan medis. Sayang, nyawanya tidak selamat. Korban dinyatakan meninggal diduga akibat kehabisan darah,” ungkap Boim.
Boim berharap, pertikaian berdarah di Pasar Angso Duo tersebut menjadi pelajaran bagi warga di wilayah hukum Polresta Jambi. Yakni tentang pentingnya pengendalian emosi diri, dan menjauh dari perbuatan main hakim sendiri. Pemuka masyarakat Kota Jambi, Ismail, mendukung harapan Boim.
Disregulasi emosi (emosi tidak terkendali) menurutnya, umumnya berdampak negatif. Ia mencontohkan nasib yang bakal dialami Gutomo dan Anggi. Karena kalap dan lupa diri, Gutomo terancam dipidana penjara maksimal tujuh tahun sesuai bunyi Pasal 351 ayat 3, tentang tindak penganiayaan yang menyebabkan kamatian orang lain.
Sementara Anggi yang kembali ke Pasar Angso Duo untuk meluapkan kemarahan kepada Gutomo, justru malah terenggut nyawanya.
“Emosi atau nafsu marah harus kita lawan dan tekan. Karena ada pengaruh iblis atau setan,” ungkap Ismail yang juga menjadi pimpinan masjid di Kelurahan Lingkar Selatan, Kecamatan Palmerah, Kota Jambi. (SL/E-4)