
Director of Business Development and Scientific Affairs PT Dexa Medica, Prof. Raymond Tjandrawinata mengatakan Indonesia memiliki sumber daya yang luar biasa untuk mengembangkan obat bahan baku alam. Bahan baku alam untuk obat bisa berasal dari tumbuhan atau hewan seperti produk Disolf yang dikembangkan dari cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang dapat membantu melancarkan sirkulasi darah.
“Banyak dokter spesialis saraf dan jantung juga telah meresepkan produk kami, karena sebagian besar fitofarmaka di sini diresepkan oleh dokter. Tidak hanya digunakan di Indonesia, tetapi juga diekspor ke beberapa negara ASEAN dan beberapa negara lainnya,” kata Raymond di Rumah Riset DLBS di Cikarang, Jawa Barat, Kamis (16/10).
Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) mengintegrasikan teknologi 4.0 dalam setiap tahapan riset dan pengembangan produk, mulai dari penemuan bahan aktif berbasis Tandem Chemistry Bioassay System (T-CEBS) hingga pemantauan kualitas dari produk setelah diproduksi. Pengembangan produk Obat Modern Alami Integratif (OMAI) sangat saintifik sehingga dapat dibuktikan secara klinis.
“Ketika kami masuk ke tahap uji klinis, kita perlu memiliki bukti ilmiah. Dengan pendekatan tersebut, akan lebih mudah memperoleh data yang baik pada fase klinis, dan berdasarkan pengalaman tersebut, jika desainnya baik mulai dari bahan baku aktif hingga produk jadi, maka produk herbal berbasis keanekaragaman hayati tidak kalah kualitasnya dibandingkan produk kimia,” ujarnya.
Namun demikian, dalam pengembangan Obat Bahan Alam, mengalami beberapa tantangan, salah satunya adalah belum masuknya obat bahan alam dalam Formularium Nasional JKN karena terbentur Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik Badan POM Dian Putri Anggraweni menyampaikan bahwa inovasi DLBS menjadi contoh pengembangan obat bahan alam Indonesia menjadi produk berkelas global. Hal ini yang sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam memperkuat ekosistem riset obat bahan alam dan fitofarmaka nasional.
“Dexa Medica adalah salah satu industri farmasi terbaik di Indonesia. Perusahaan ini telah melakukan banyak inovasi dalam pengembangan obat herbal. Kita bisa berbagi best practice tentang bagaimana Dexa Medica mengembangkan obat herbal menjadi produk berkelas global,” ujar Dian.
WHO-IRCH Secretariat, Pradeep Kumar Dua menekankan pentingnya pengembangan fitofarmaka yang memenuhi standar global. WHO menilai pengembangan obat berbasis biodiversitas yang dilakukan Dexa Medica sejalan dengan strategi WHO dalam pengembangan obat bahan alam yang komplementer dan integratif.
“Saya melihat bahwa Dexa melakukan integrasi dan inovasi dalam pengembangan produk yang terkait dengan keanekaragaman hayati yaitu fitofarmaka,” kata Dr. Pradeep.
“Ini adalah sebuah inisiatif di mana regulator dan pelaku industri berkolaborasi. Kami berharap kolaborasi lintas sektor antara berbagai bidang dan pemerintah di negara-negara anggota dapat semakin ditingkatkan,” pungkasnya. (H-1)