
KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang baru berlaku tahun depan masih mencantumkan pidana mati sebagai hukuman yang berlaku di Indonesia, meski bukan lagi sebagai pidana pokok yang tertuang dalam KUHP lama. Kendati demikian, pengadilan masih menjatuhkan vonis mati kepada sejumlah terdakwa.
Amnesty International Indonesia mencatat, sebanyak 85 orang divonis hukuman mati atas 75 kasus sepanjang 2024. Sebagian besar kasus merupakan tindak pidana narkotika (57 kasus dengan 64 terdakwa), sementara sisanya adalah kasus pembunuhan (18 kasus dengan 21 terdakwa).
Adapun dari Januari hingga Maret 2025, majelis hakim menjatuhkan hukuman mati kepada 21 terdakwa dari 21 kasus. Walau penjatuhan vonis mati terus dilakukan, Indonesia sudah lama tak melakukan eksekusi mati yang terkahir kali dilakukan pada 2016.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Indonesia menunjukkan komitmen ganda karena meskipun tidak melakukan eksekusi, tapi penjatuhan vonis mati terus dilakukan.
Berdasarkan catatan Amnesty International, Usman menyebut bahwa jumlah putusan hukuman mati secara global pada 2024 sebanyak 2.087 vonis oleh pengadilan di 46 negara. Dibandingkan 2023, angka itu terbilang lebih rendah, yakni 2.428 vonis di 52 negara.
Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa eksekusi mati di pada 2024 mencatatkan tren peningkatan dibanding 2023. Pada 2024, Usman menyebut ada 1.518 eksekusi mati atau naik 32% dari jumlah 1.153 pada 2023.
Bagi Amnesty, hukuman mati tidak membawa pada keadilan. Sebaliknya, penghukuman tersebut dinilai hanya menciptakan lebih banyak korban. Oleh karenanya, Amnesty mendorong agar hukuman mati di Indonesia dihapuskan.
"Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati,” kata Usman lewat keterangan tertulis, Selasa (8/4).
Sementara itu, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menyoroti kebijakan pemerintah yang beberapa waktu lalu memulangkan dua warga negara asing terpidana mati, yaitu Mary Jane Veloso dari Filipina dan Serge Atlaoui dari Prancis. Menurutnya, kebijakan tersebut hanyalah keputusan yang bersifat parsial dan tak mencerminkan perubahan sikap Indonesia atas hukuman mati.
"Aparat penegak hukum di pengadilan masih sering memilih hukuman mati dalam memutuskan suatu perkara narkotika ataupun pembunuhan, seperti yang tercermin dalam tuntutan jaksa penuntut umum hingga putusan majelis hakim. Ini fakta yang patut disesalkan,” terang Wirya.
Pihaknya mendesak aparat penegak hukum di Indonesia untuk mengikuti tren global dengan menetapkan moratorium resmi atas semua eksekusi dan mengubah hukuman semua terpidana mati sebagai langkah awal yang esensial menuju penghapusan penuh hukuman yang kejam ini.
Terlebih, jumlah warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri per 2024 sebanyak setidaknya 157 orang, sebagian besar di Malaysia yang sebanyak 147 orang.
“Dengan menghapuskan hukuman mati di dalam negeri, Indonesia akan lebih mudah pula berkampanye membebaskan WNI yang terancam hukuman mati,” kata Wirya.
(Tri/P-3)