
BELUM lama ini, viral video seorang ustaz salafi (wahabi) yang merokok dan dikecam oleh kelompoknya. Menurut ustaz salafi itu, hukum rokok dalam Islam yaitu halal. Padahal kelompoknya diketahui mengharamkan rokok.
Bahkan, dalam dunia Islam keseluruhan, terdapat perbedaan pendapat tentang hukum rokok. Ada yang bilang halal dan ada yang berpandangan haram. Di samping itu, di luar soal agama, rokok pun menjadi pokok perbedaan antara pemerintah dengan industri tembakau.
Bagi ulama yang berpendapat rokok itu boleh, hukumnya pun dapat bervariasi. Hukum rokok dapat makruh apabila perokok secara fisik sehat dan tidak menderita penyakit tertentu yang apabila merokok akan membahayakan jiwanya. Merokok baru haram apabila dapat membahayakan jiwa perokok itu terjadi bagi penderita penyakit tertentu seperti penyakit jantung yang kronis.
Bagi ulama yang berpandangan bahwa rokok itu haram secara mutlak, mereka beralasan karena rokok itu membahayakan bagi siapapun, yang sehat atau yang sakit, serta menghamburkan uang. Untuk lebih jelasnya berikut paparan pendapat ulama tentang hukum rokok sebagaimana dilansir Pondok Pesantren Alhoirot.
Dalam bahasa Arab, rokok disebut dukhan, tabagh, tambak, natan, dan sijarah. Sedangkan perbuatan merokok itu disebut dengan tadkhin. Pengisap rokok atau perokok disebut dengan mudakhkhin.
Pada dasarnya tidak ada pembahasan eksplisit di dalam Al-Qur'an dan hadits tentang status rokok dan merokok. Dalil-dalil nash yang dipakai cenderung tidak persis dan eksplisit mengarah pada rokok.
Oleh karena itu, tidak heran kalau ulama klasik dan kontemporer berselisih (ikhtilaf) pendapat tentang halal dan haramnya. Inti dari pendapat ulama tentang rokok terbagi dua yaitu haram secara mutlak dan mubah (boleh) atau makruh (tidak dianjurkan tetapi tidak haram).
Pendapat yang membolehkan rokok
Pendapat itu mengambil dalil kaidah fikih segala sesuatu pada asalnya adalah mubah. Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (halaman 260) menyatakan tidak ada hadis mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang.
"Namun kadang kala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat dipahami makruh hukumnya," paparnya.
Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (halaman 383-384) menyatakan tentang tembakau, sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan. Di samping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi.
Pada dasarnya, lanjutnya, semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama lain menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, hlm. 6/166-167, menyatakan terkait masalah kopi dan rokok, penyusun kitab Al-'Ubab dari mazhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab bahwa (kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah, ia menjadi ibadah. Untuk yang mubah, ia menjadi mubah. Untuk yang makruh, ia menjadi makruh atau haram, ia menjadi haram.
Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama dari mazhab Hambali terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari mazhab Hambaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan, jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.
Sedangkan Shaykh Hazim Abu Ghazalah, ulama Yordania, menganggap rokok itu makruh. Berikut fatwanya.
"Hukum Islam dalam soal merokok adalah tidak ada dalil eksplisit (qathi) dalam Al-Qur'an atau Sunah (hadis) Nabi. Yang ada adalah firman Allah dalam QS Al-A'raf 7:157. Ayat ini sangat umum dan sama sekali tidak mengarah pada rokok. Ayat ini merujuk pada yang terdapat pada perkara-perkara yang diharamkan seperti minum khamr (minuman keras), judi, zina, riba, dan lain-lain. Oleh karena itu, saya tidak bisa menetapkan hukum yang pasti untuk mengharamkan rokok, untuk menghukumi makruh tahrim. Saya hanya bisa menganjurkan saudara-saudara kita yang perokok agar meninggalkan kebiasaan buruk ini.
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU pada 25 Februari 2011 memutuskan bahwa rokok itu hukumnya makruh atau mubah. Para ulama NU dalam bahtsul masail menilai tidak ada dasar yang kuat untuk mengharamkan rokok. Namun, khusus bagi orang-orang dalam kondisi tertentu, misalnya memiliki penyakit dan penyakitnya bisa bertambah parah jika merokok, rokok diharamkan.
Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang mengatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafii bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Nah, karena tidak ditemukan dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadis yang mengharamkan rokok, pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah.
Pendapat yang mengharamkan rokok
Para ulama yang mengharamkan rokok menampilkan sejumlah dalil seperti Al-Qur'an Surat Al-A'raf ayat 157, Surat Al-Isra ayat 26-27, Surat An-Nisa' ayat 29, dan Al-Baqarah ayat 195.
Mereka juga menyebutkan hadis riwayat Abu Daud, Ahmad, Daruqutni, yang berbunyi, "Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain."
Ada pul hadis riwayat Bukhari yang berarti barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya tidak menyakiti tetangganya, menghormati tamunya, dan mengatakan sesuatu yang baik atau diam.
Alasan ulama yang mengharamkan rokok yaitu mengganggu kesehatan, pemborosan, mengganggu kesehatan masyarakat, dan mengganggu kesehatan lingkungan.
Ketua Ikatan Ulama Internasional, Yusuf Qaradhawi, berfatwa bahwa merokok adalah haram karena ia membahayakan kesehatan dan harta. Berikut sebagian isi fatwanya.
"Tidak ada pendapat ulama saat ini yang menghalalkan rokok setelah kalangan medis menjelaskan bahayanya dan efek negatifnya. Apabila gugur pendapat yang membolehkan rokok secara mutlak, yang tersisa adalah pendapat makruh atau haram. Pendapat yang mengharamkan menurut kami lebih kuat argumennya. Dan itulah pendapat saya. Hal itu karena jelasnya bahaya fisik, harta, dan diri karena kebiasaan merokok. Segala sesuatu yang membahayakan kesehatan manusia maka harus diharamkan secara syariah."
Ia melanjutkan, Allah berfirman dalam QS Al Baqarah 2:185, "...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan," QS An-Nisa 4:29, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu," QS Al An'am 6:141, "Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan," QS Al-Isra 17:27, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." Rokok berbahaya pada kesehatan dan harta, sehingga memperoleh sesuatu yang membahayakan manusia itu haram karena firman Allah QS An-Nisa 4:29, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu," Oleh karena itu, pihaknya merasa wajib memfatwakan haramnya rokok.
Fatwa haramnya rokok juga berasal dari ulama wahabi Arab Saudi, seperti Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Begitu pun Muhammadiyah berdasarkan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid bernomor 6/SM/MTT/III/2010. Fatwa pada 2010 menetapkan hukum merokok yaitu haram.
Pada 2020, Muhammadiyah kembali mengeluarkan fatwa tentang keharaman rokok elektrik. Kedua fatwa ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip ajaran Islam antara lain kemaslahatan umum dan keselamatan jiwa. Sebab perokok aktif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena penyakit serius seperti kanker paru-paru, dan lain-lain.
Sejatinya, masih banyak lagi para ulama yang berbeda pendapat tentang hukum rokok. Namun, paparan di atas sudah cukup untuk mewakili pandangan dua kelompok ulama tersebut. Semoga bermanfaat. (I-2)