
HARI Perempuan Internasional 2025 mengangkat tema penting tentang perjalanan patriotisme perempuan Indonesia dari masa ke masa. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irine Hiraswari Gayatri dalam pemaparannya menyoroti berbagai aspek perjuangan perempuan di Indonesia, dari masa pra-kemerdekaan hingga tantangan di era kontemporer.
Sejak masa pra-kemerdekaan, perempuan Indonesia telah berkontribusi besar dalam perjuangan nasional. Mereka memimpin pasukan perang, menjadi kurir, membuat senjata rakitan, hingga tergabung dalam laskar-laskar perjuangan. Namun, setelah kemerdekaan, terjadi perubahan dalam dinamika kekuasaan yang menyebabkan laki-laki menjadi figur utama di ruang publik.
"Kita tahu proyeksi perempuan Indonesia pada masa pra-kemerdekaan itu sangat luar biasa. Mereka mimpin pasukan perang, menjadi kurir ketika masa kemerdekaan, bikin senjata rakitan, masuk laskar perempuan, dan lain sebagainya dalam kondisi revolusional," jelasnya dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/3).
Dalam konteks modern, perempuan terus beradaptasi dengan berbagai perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Meski demikian, masih ada tantangan yang membatasi ruang gerak mereka dalam berpartisipasi di sektor publik.
Menurut Irine, ada tiga hambatan utama yang dihadapi perempuan dalam perjuangan mereka. Pertama, konstruksi sosial gender. Pandangan bahwa perempuan hanya cocok untuk urusan domestik masih kuat di masyarakat. Bahkan, interpretasi agama dan budaya sering digunakan untuk memperkuat stereotip ini.
"Perspektif bahwa perempuan itu lemah dan hanya cocok di dapur, sumur, kasur masih ada, dan ini dipermanenkan dalam berbagai aspek kehidupan," ujarnya.
Kedua, perspektif seksisme dan kekerasan berbasis gender. Kekerasan seksual di ruang publik masih menjadi masalah serius. Perempuan menghadapi kesulitan dalam melaporkan kasus pelecehan dan kekerasan karena sistem hukum yang belum sepenuhnya mendukung korban.
"Sampai sekarang masih ada kasus di sekolah, pesantren, dan tempat-tempat lain yang mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap perempuan," katanya.
Ketiga, minimnya keakuratan fata dan kesadaran publik. Irine menyoroti kurangnya data akurat tentang jumlah perempuan di sektor keamanan, seperti militer dan kepolisian.
"Kita kesulitan mengakses jumlah pasti perempuan di TNI, Polri, atau bahkan di sektor lainnya. Padahal, data ini penting untuk kebijakan afirmatif," jelasnya.
Sejarah membuktikan bahwa perempuan Indonesia selalu berjuang dalam berbagai lini kehidupan. Dari masa perang hingga era modern, mereka terus menunjukkan militansi dalam memperjuangkan hak-haknya.
"Personal is political. Kalau tidak ada perjuangan perempuan di masa lalu, kita tidak akan duduk di sini hari ini," ucap dia.
Perjuangan perempuan tidak hanya untuk kepentingan individu, tetapi juga untuk kepentingan bangsa. Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama—termasuk dari laki-laki—untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
"Hari Perempuan Internasional 2025 menjadi momentum untuk kembali mengingatkan bahwa patriotisme perempuan bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan yang lebih inklusif dan setara bagi semua," pungkas dia. (H-1)