Fosil Baru Ungkap Tumbuhan Bertahan dari Kepunahan Massal 250 Juta Tahun Lalu

5 hours ago 2
Fosil Baru Ungkap Tumbuhan Bertahan dari Kepunahan Massal 250 Juta Tahun Lalu Penelitian terbaru menemukan kepunahan massal akhir Permian, yang dikenal sebagai Great Dying, mungkin tidak seburuk yang diperkirakan bagi tumbuhan.(NIGPAS)

KEPUNAHAN massal yang memusnahkan 80% kehidupan di Bumi sekitar 250 juta tahun lalu mungkin tidak terlalu menghancurkan bagi tumbuhan, menurut temuan fosil terbaru. Para ilmuwan mengidentifikasi sebuah tempat perlindungan di Tiongkok, di mana tampaknya tumbuhan berhasil bertahan dari peristiwa kepunahan terbesar di planet ini.

Kepunahan massal akhir Permian, yang juga dikenal sebagai Great Dying, terjadi sekitar 251,9 juta tahun yang lalu. Saat itu, superbenua Pangea sedang dalam proses terpecah, tetapi sebagian besar daratan di Bumi masih tergabung, hanya dipisahkan oleh laut dangkal. 

Letusan besar dari sistem vulkanik yang dikenal sebagai Siberian Traps tampaknya mendorong tingkat karbon dioksida ke level ekstrem. Sebuah studi tahun 2021 memperkirakan bahwa kadar CO2 di atmosfer mencapai 2.500 bagian per juta (ppm) pada periode ini, jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat saat ini yang sekitar 425 ppm. Hal ini menyebabkan pemanasan global dan pengasaman lautan, yang pada akhirnya mengakibatkan runtuhnya ekosistem laut secara besar-besaran.

Namun, kondisi di daratan masih belum sepenuhnya dipahami. Hanya sedikit lokasi di dunia yang memiliki lapisan batuan dengan fosil ekosistem darat dari akhir Permian hingga awal Trias.

Sebuah studi baru yang meneliti salah satu lokasi ini—berada di timur laut Tiongkok saat ini—mengungkapkan adanya tempat perlindungan di mana ekosistem tetap relatif sehat meskipun terjadi Great Dying. Di lokasi ini, hutan gymnospermae yang menghasilkan biji terus tumbuh, didukung oleh pakis yang berkembang biak melalui spora.

"Setidaknya di tempat ini, kami tidak melihat kepunahan massal pada tumbuhan," kata Wan Yang, profesor geologi dan geofisika dari Missouri University of Science and Technology, yang juga menjadi salah satu penulis studi ini, kepada Live Science.

Temuan yang dipublikasikan pada Rabu (12/3) di jurnal Science Advances ini semakin memperkuat gagasan Great Dying mungkin lebih kompleks di daratan dibandingkan di lautan, kata Yang.

Perubahan Bertahap?

Yang dan timnya menganalisis lapisan batuan di Xinjiang yang mencakup periode kepunahan massal ini.

Keunggulan utama dari lokasi yang kini berupa gurun ini adalah adanya lapisan abu yang mengandung kristal kecil bernama zirkon. Zirkon ini memiliki elemen radioaktif seperti timbal dan uranium yang mengalami peluruhan secara bertahap, memungkinkan peneliti menentukan usia batuan dengan akurasi lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya.

Beberapa lapisan batuan ini juga mengandung fosil spora dan serbuk sari. Fosil-fosil ini menunjukkan bahwa tidak terjadi kepunahan besar-besaran dan repopulasi secara tiba-tiba, melainkan perubahan spesies yang berlangsung secara perlahan, kata Yang.

Temuan ini konsisten dengan bukti dari Afrika dan Argentina, di mana populasi tumbuhan tampaknya bergeser secara bertahap, bukan punah secara mendadak dan kemudian kembali berkembang, kata Josefina Bodnar, ahli paleobotani dari National University of La Plata, Argentina, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

"Tumbuhan darat memiliki banyak adaptasi yang memungkinkan mereka bertahan dari kepunahan ini," kata Bodnar. "Misalnya, mereka memiliki struktur bawah tanah seperti akar atau batang yang dapat bertahan selama ratusan tahun." Selain itu, biji juga bisa tetap bertahan dalam jangka waktu yang lama, tambahnya.

Kelangsungan hidup ini mungkin lebih mungkin terjadi di wilayah yang lembap dan berada di garis lintang tinggi. Situs di Xinjiang dulunya dipenuhi danau dan sungai, beberapa ratus mil dari pantai. Tempat perlindungan tumbuhan lainnya, seperti di Argentina, juga berada di garis lintang tinggi selama periode Permian, jauh dari ekuator yang memiliki suhu paling panas.

Yang dan timnya menemukan selama akhir Permian dan awal Trias, iklim di Xinjiang menjadi sedikit lebih kering, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan deforestasi.

Hal ini mungkin disebabkan lokasi, kata Devin Hoffman, peneliti paleontologi dari University College London yang tidak terlibat dalam studi baru ini. Hewan laut tidak memiliki tempat berlindung dari pengasaman lautan global. Namun, perubahan iklim di daratan tidak merata. Dampak terparah kemungkinan terjadi di pusat Pangea, yang saat itu merupakan gurun luas.

"Pada daratan, Anda masih bisa menghindari beberapa dampaknya," kata Hoffman. "Segala sesuatu pada dasarnya terdorong ke arah kutub dan pesisir, tetapi di daratan, ada kemungkinan untuk bertahan."

Jejak Memori Planet

Temuan ini telah memicu perdebatan mengenai apakah kepunahan massal terbesar di Bumi benar-benar layak disebut demikian jika melihat dampaknya di daratan.

"Saya lebih suka menyebutnya sebagai krisis di daratan, bukan kepunahan," kata Robert Gastaldo, profesor emeritus geologi dari Colby College, yang tidak terlibat dalam studi ini tetapi pernah berkolaborasi dengan Yang.

Kepunahan massal akhir Permian menarik perhatian ilmuwan karena dipicu gas rumah kaca—mirip dengan perubahan iklim yang kita alami saat ini. Kondisinya memang jauh lebih ekstrem saat itu: Lapisan es kutub mencair sepenuhnya, yang jika terjadi sekarang akan menyebabkan kenaikan permukaan laut hingga 70 meter.

Namun, manusia mungkin hampir sama berbahayanya dengan letusan gunung berapi raksasa. Sebuah studi tahun 2020 menemukan kepunahan yang lebih kecil di akhir periode Trias (201 juta tahun lalu) disebabkan oleh lonjakan gas rumah kaca dari letusan gunung berapi, dalam skala yang mirip dengan emisi karbon yang diperkirakan akan dihasilkan manusia pada akhir abad ini.

Mempelajari bencana kuno ini dapat memberi kita gambaran tentang apa yang akan terjadi jika kadar karbon dioksida atmosfer mencapai tingkat yang belum pernah dialami manusia, kata Gastaldo.

"Planet ini pernah mengalaminya," katanya. "Memori planet ini tersimpan dalam catatan batuan. Dan kita bisa belajar dari batuan tersebut tentang apa yang akan terjadi pada Bumi di bawah kondisi ekstrem ini." (Live Science/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |