Feminisme Pancasila: Paham Lokal Nusantara

1 day ago 7
 Paham Lokal Nusantara (MI/Seno)

'JIKA benar kaum ibu Indonesia sudah insaf akan kewajibannya dalam perjuangan nasional, tidak akan lama lagi datanglah hari kemenangan dan kemerdekaan kita'.

Sukarno, dari Penjara Sukamiskin, 1928

(Surat Sukarno untuk peserta Kongres Perempuan 1)

Gerakan perempuan selalu dipojokkan dengan tudingan bahwa feminisme dan kesetaraan gender ialah gagasan impor dari Barat. Itu tuduhan menyedihkan karena sepanjang sejarah panjang Nusantara, nilai-nilai emansipasi perempuan telah hidup jauh sebelum istilah 'feminisme' dikenal.

Kedatangan kolonialisme pada abad 15 dengan menggendong nilai-nilai patriarkal modern dari Eropa telah memutus hubungan kita dari akar-akar kesetaraan gender yang asli Nusantara. Karena itu, serangan antiemansipasi perempuan sebenarnya justru gagasan impor warisan kolonialisme.

Sukarno (1958) menegaskan bahwa semua sila, terutama sila kedua dan kelima, ialah jaminan dan amanah agar kita menjunjung kesetaraan. Sikap seksis, yaitu sikap, tindakan, atau kepercayaan yang mendiskriminasi atau merendahkan seseorang berdasarkan jenis kelamin, biasanya terhadap perempuan nyata tidak sesuai dengan Pancasila.

Dalam membangun masyarakat berkeadilan sosial, patriarki ialah hambatan karena tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan. Patriarki itu terwujud sikap diskriminasi dan subordinasi, bahkan marginalisasi yang berujung pada kekerasan. Sikap yang demikian tentu mengganggu pelaksanaan prinsip inklusi dalam demokrasi.

Puncak subordinasi terhadap perempuan ialah di isu kepemimpinan yang menjadi area pembatasan patriarki. Feminisme Pancasila sebagai wajah modern dari feminisme Nusantara menunjukkan data-data kepemimpinan perempuan sebelum kolonialisme itu nyata adanya.

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN: WARISAN LOKAL

Patriarki menganggap perempuan tidak mampu dan tidak cocok menjadi pemimpin karena perempuan dianggap emosional. Hal itu kini masih diyakini oleh lembaga-lembaga seperti TNI, Polri, dan lembaga-lembaga keagamaan. Sementara itu, sejarah mencatat Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara pada abad ke-7 sudah menjadi pemimpin yang tegas dan antikorupsi sehingga anak sendiri pun dihukum potong kaki.

Pada abad ke-14, Tribhuwana Tunggadewi dengan penasihatnya, Ratu Gayatri, memerintah Majapahit dengan kebijaksanaan yang strategis sehingga Majapahit menjadi penguasa dunia wilayah selatan. Raja Hayam Wuruk memetik hasil kerja dua perempuan luar biasa tersebut dengan bantuan Patih Gadjah Mada yang ditunjuk kedua perempuan hebat tersebut.

Pada abad 15, muncul Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menjadi pemimpin politik sekaligus panglima perang bagi kerajaan-kerajaan Nusantara dari Ambon hingga Malaka melawan Portugis. Pada masa pemerintahannya, Jepara menjadi pusat industri perkapalan terbesar se Asia Tenggara.

Pada abad 17, di Kesultanan Aceh tercatat ada empat sultanah yang memimpin secara berturut-turut. Di masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah, ia mendirikan Balai Inong untuk sekolah para janda untuk dididik, termasuk menjadi laskar perang.

Panglima Laut perempuan Laksamana Malahayati memimpin 2000 pasukan janda untuk perang melawan Belanda. Ia bahkan berhasil membunuh Cornelis de Houtman, pemimpin ekspedisi Belanda dalam pertempuran pada tanggal 11 September 1599. Malahayati juga pandai berdiplomasi, misalnya menerima utusan Ratu Elizabeth I, Sir James Lancaster, pada 1602. Fakta itu membantah anggapan bahwa perempuan tidak pandai berpolitik, berdiplomasi, atau tidak bisa memimpin militer.

Selain Laksmana Malahayati, ada pula panglima perang Cut Nya’ Dien dan Cut Muthia yang memimpin perang melawan Belanda. Beberapa perempuan pemimpin pemerintahan juga tercatat ada di Kalimantan, Bone, Bali, dan NTT.

Pemerintah kolonial Belanda kemudian memperkenalkan kebijakan segregasi yang seksis melalui pembuatan produk hukum dan kebijakan yang mengecualikan perempuan dari ruang publik. Pendidikan dan partisipasi politik perempuan dibatasi dan perempuan dipaksa masuk peran domestik yang sempit. Inilah sistem asing yang sesungguhnya yang impor dari Eropa.

Menjelang dan setelah kemerdekaan, perjuangan tokoh-tokoh perempuan seperti Kartini, Rasuna Said, dan SK Trimurti membuka kembali ruang bagi gagasan kesetaraan gender. Sayangnya, hingga kini banyak kelompok yang masih mencurigai feminisme dan dianggap sebagai ancaman, bukan pembebasan.

Kebangkitan kesadaran kebangsaan dan emansipasi perempuan dimunculkan oleh Kartini secara beriringan. Kartini menginspirasi para bapak dan ibu bangsa pelopor kebangkitan nasional dan pejuang kemerdekaan. Sukarno, Ki Hadjar Dewantoro, Yamin, Syahrir, Sutomo, Agus Salim, Trimurti, dan Maria Ulfa tercatat mengutip pemikiran-pemikiran Kartini pada beberapa kesempatan.

FEMINISME PANCASILA: JAWABAN KULTURAL ATAS KEADILAN GENDER

Feminisme Pancasila ialah ekspresi modern dari feminisme lokal Indonesia yang berakar pada nilai-nilai kebangsaan dan spiritualitas Nusantara, tapi berpandangan global/universal. Menjunjung kesetaraan martabat manusia laki dan perempuan sebagaimana tercantum dalam semua sila dari Pancasila.

Berbeda dari feminisme liberal atau radikal yang lahir dari konteks Barat, feminisme Pancasila tidak menempatkan laki-laki sebagai lawan, tetapi mengajak seluruh warga negara bekerja sama untuk keadilan sosial yang menyeluruh. Ini merupakan bentuk emansipasi yang bermartabat, berdaulat, dan kontekstual.

Sukarno, pada kursus Pancasila di Istana Negara pada 22 Juli 1958, menyatakan bahwa ketergantungan pertanian pada bulan dan bintang diwujudkan pada pilihan warna bendera gula kelapa, yaitu merah putih. Merah matahari mencerminkan keberanian dan darah merah perempuan dan warna putih bulan ialah representasi mani laki-laki.

Lambang sila ke-2 berupa rantai persegi dan bulat saling menyambung tidak berkesudahan, menunjukkan saling ketergantungan antara laki dan perempuan. Kerja sama demi keberlanjutan regenerasi sebagai bangsa maupun untuk mencapai tujuan negara merdeka berupa keadilan sosial.

Pemikiran dan dukungan Sukarno pada kesetaraan gender yang menjadi tujuan feminisme di Indonesia dijelaskan dalam Buku Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia (1947). Pada 1963, Sukarno juga tercatat memerintahkan perekrutan prajurit perempuan ke dalam TNI yang kemudian bernama Kowad.

Kesetaraan gender dalam Feminisme Pancasila dapat diwujudkan dengan kerja sama atau gotong royong (bukan bersaingan) antara laki-laki dan perempuan dalam membangun bangsa. Dalam Buku Sarinah, Sukarno meminta kedua gender untuk sama-sama kuat layaknya dua sayap dari burung garuda agar bisa terbang tinggi mewujudkan sila 5 Pancasila.

Dengan mengangkat kembali kepemimpinan perempuan dalam sejarah Nusantara dan mengembangkan feminisme Pancasila sebagai kerangka politik masa kini, kita bisa menjawab dua hal sekaligus: bahwa feminisme bukanlah gagasan asing dan bahwa kesetaraan gender ialah bagian tak terpisahkan dari cita-cita bangsa.

Perjuangan perempuan Indonesia hari ini ialah kelanjutan dari jejak-jejak lokal yang pernah berjaya, tapi kini dibingkai dalam ideologi negara, yaitu Pancasila. Maka itu, memperjuangkan feminisme bukanlah bentuk pembangkangan budaya, melainkan pemulihan memori kolektif dan pembelaan terhadap martabat kebangsaan.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |