
DISKRIMINASI gender di dunia kerja masih menjadi persoalan yang kompleks di Indonesia. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyoroti bahwa meskipun ada kemajuan dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, masih terdapat stagnasi dan bahkan kemunduran dalam berbagai aspek.
Ninik mengakui bahwa ada peningkatan dalam angka kesetaraan gender di berbagai sektor. Ia mencontohkan bagaimana akses perempuan ke pendidikan dasar dan menengah sudah hampir setara dengan laki-laki. Bahkan di sektor militer, ada perkembangan positif.
Meski ada kemajuan, stagnasi dalam penghapusan diskriminasi gender masih terjadi, terutama di dunia pendidikan tinggi dan kepemimpinan.
“Kalau kita lihat akses perempuan terhadap pendidikan sudah sangat hampir sama untuk tingkat SD, SLTP masih sama. Tapi SLTA, perguruan tinggi, apalagi sampai doktor, sampai guru besar, itu kemudian kita betul-betul akan jauh berbeda dibandingkan dengan akses pada laki-laki,” jelasnya dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/3).
Di dunia kerja, regulasi yang seharusnya melindungi perempuan justru sering kali tidak memiliki infrastruktur pendukung. Ninik menyoroti bagaimana banyak aturan yang masih memperkuat diskriminasi. “Ada aturan tapi tidak ada infrastruktur dan dukungan sumber daya yang cukup,” katanya.
Ia menjelaskan, meskipun saat ini ada kesamaan upah, kesamaan peluang kerja, namun pada praktiknya seringkali meleset. Karena nyatanya lebih banyak laki-laki yang diterima bekerja di berbagai level, terutama sektor swasta.
"Balik lagi, laki-laki yang diterima. Kenapa? Karena dianggap perempuan itu ribet.Ada cuti hamil, cuti melahirkan, cuti menyusui, cuti haid. Ini buat swasta merugikan," jelasnya.
Selain itu, di sektor militer, misalnya, alasan perempuan tidak bisa menduduki posisi komando masih digunakan untuk membatasi akses mereka. “Tahun ini lagi-lagi tidak menerima dengan alasan bahwa percuma. Perempuan tidak bisa pegang komando,” ungkapnya.
Alasan lain yang digunakan adalah kekhawatiran bahwa perempuan yang bertugas di medan perang akan mengalami kekerasan seksual. “Menempatkan perempuan tidak dalam posisi yang sama. Menganggap perempuan itu lemah, tidak bisa menjaga diri, tidak bisa memimpin,” tegasnya.
Untuk itu, ia mendorong berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem kerja yang berkeadilan bagi perempuan, termasuk pemahaman mengenai cuti-cuti khusus yang berhak didapatkan.
"Perlu dibangun pengetahuan bersama bahwa cuti-cuti tadi itu adalah bagian dari dukungan pada perempuan yang memang punya tanggung jawab pada kesehatan reproduksinya. Dan tanggung jawab pada reproduksi itu bukan tanggung jawab perempuan sendiri, tapi tanggung jawab bangsa," pungkas dia. (H-3)