
WAKIL Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq mengatakan kebanyakan masyarakat menganggap bahwa wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) hanya berada di luar Pulau Jawa. Faktanya, di daerah-daerah yang tingkat pendidikannya baik sekalipun masih terdapat beberapa titik yang masih tertinggal tidak hanya dari sisi pendidikan, melainkan juga ekonomi dan kesehatan.
Hal itu terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi DI Yogyakarta yang termasuk tinggi di Indonesia. Jumlah masyarakat yang lulus sarjana atau strata satu juga banyak. Lebih dari 15%. Dalam urusan pendidikan, Yogyakarta tergolong yang terbaik sekaligus menjadi pusat dan barometer pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, kesenjangan antarwilayah bukan berarti tidak ada di provinsi tersebut.
“Ada kesenjangan antarwilayah. Mitra strategis kami di Komisi X DPR RI ada panja 3T dan Marjinal. Pikiran kita biasanya daerah 3T adalah wilayah-wilayah yang ada di luar Jawa. Di Jawa pun sebenarnya masih banyak kantong-kantong yang tertinggal secara pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Itu terjadi di Yogya. Hal yang sama tidak menutup kemungkinan juga ada di daerah-daerah lain,” tuturnya, ketika membuka kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kesiapan PKBM Penerima Program Bantuan Digitalisasi Pembelajaran Tahun 2025 & Evaluasi Implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 di Yogyakarta, kamis, (4/7).
Wamen Fajar melanjutkan, perlu adanya mitigasi dalam rangka memastikan program-program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tepat sasaran dan tepat guna. Di antara program prioritas itu adalah digitalisasi pendidikan dengan membagikan ratusan ribu smart board, termasuk kepada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat).
“Kami dipanggil oleh Presiden Prabowo Subianto untuk membicarakan transformasi digital di dunia pendidikan. Presiden percaya bahwa digitalisasi pendidikan akan mengakselerasi peningkatan literasi dasar pendidikan kita, terutama STEM. Dalam rangka itulah Kemendikdasmen meluncurkan program digitalisasi pendidikan yang salah satunya adalah distribusi smart board ke berbagai lembaga pendidikan,” ujarnya.
Proses distribusi tersebut, sambungnya, tentu tidak terbebas dari beragam celah adanya potensi penyelewengan atau ketidaktepatan. Karena itulah monev ini penting dilakukan oleh Kemendikdasmen melalui Inspektorat Jenderal untuk mengantisipasi, memitigasi, memvalidasi sekaligus mengonfirmasi kesiapan PKBM.
“Monev inilah yang nanti akan menjadi batu uji untuk melakukan asesmen di tempat-tempat lain. Jangan sampai dengan adanya peralatan yang canggih ini justru tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya dan malah hanya menjadi pajangan di gudang sekolah. Kita tidak ingin distribusi smart board ini seperti itu. Maka dari itu, perlu ada mitigasi di PKBM dan lebih jauh dari itu mampu menggunakannya peralatan canggih itu secara arif dan tepat,” tegas Wamen Fajar.
Wamen Fajar menekankan bahwa distribusi smart board ini bukan sekadar pengadaan teknologi canggih belaka, melainkan upaya dalam rangka mengubah mindset masyarakat dan dunia pendidikan kita.
“Pendidikan bisa diakselerasi lewat teknologi. Teknologi bisa menjadi alat untuk memacu kemajuan pendidikan. Penting juga diingatkan bahwa jangan sampai teknologi justru men-subordinasi peserta didik dan tenaga pendidik. Jangan sampai teknologi menggantikan peran guru. Guru harus menjadi aktivator pembelajaran. Ia harus memiliki kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang joyful, meaningful, dan mindful,” tegasnya. (H-3)