
BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sedang menyusun rancangan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) fase kedua untuk jangka waktu 2025-2029. Sebab, masa berlaku RAN PE fase pertama 2020-2024 yang didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7/2021 sudah habis.
Direktur Bidang Kerjasama Regional Multilateral, Dionisius Elvan Swasono menjelaskan, saat ini rancangan Perpres tentang RAN PE fase kedua sudah masuk dalam Keputusan Presiden Nomor 5/2025 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden 2025. Selain itu, rancangan perpres tersebut juga sudah masuk dalam Daftar Program Penyusunan Perpres 2025.
Ia menjelasan, RAN PE merupakan instrumen kebijakan yang diinisiasi BNPT untuk meningkatkan sejumlah upaya pencegahan terhadap ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Upaya tersebut lebih dicondongkan pada pendekatan lunak dengan melibatkan kelompok masyrakat sipil.
Dalam rancangan RAN PE fase kedua, Dion menyebut BNPT membawa sembilan tema yang berorientasi pada pendekatan pembangunan. Kesembilan tema tersebut antara lain kesiapsiagaan nasional; ketahanan komunitas dan keluarga; pendidikan, keterampilan masyarakat, dan fasilitas lapangan kerja; pelindungan dan pemberdayaan perempuan, pemuda, dan anak.
Berikutnya, komunikasi strategis, media, dan sistem elektronik; deradikalisasi dan pemutusan kekerasan untuk rehabilitasi dan integrasi sosial; hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik dan keadilan; pelindungan saksi dan pemenuhan hak korban; serta kemitraan dan kerja sama internasional.
"Ketika kita berhasil mengentaskan kemiskinan, memberikan lapangan kerja, itu sudah menjadi suatu upaya untuk kita memitigasi akar-akar kekerasan yang mengarah pada terorisme," jelas Dion dalam acara Refleksi Implementasi RAN PE 2020-2024 yang digelar Wahid Foundation di Jakarta, Jumat (21/2).
Dalam kesempatan yang sama, penasihat PCVE Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, menjelaskan bahwa ekstremisme kekerasan dapat terjadi lewat tiga pendekatan utama yang disebut sebagai faktor 3P, yakni pull (penarik), push (pendorong), dan personal. Aksi penanggulangan kekerasan yang disusun lewat RAN PE, sambungnya, lebih mengutamakan faktor penarik.
Salah satu implmentasi yang dilaksanakan Wahid Foundation adalah lewat program Sekolah Damai untuk mengatasi kekerasan seksual, intoleransi, dan perundungan. Program tersebut diyakini Wahid Foundation turut serta mereduksi kecenderungan-kecenderungan intoleransi sejak dini.
Sementara itu, peneliti BRIN bidang politik, Irene Gayatri, menggarisbawahi tiga faktor sosial ekonomi dan politik yang memicu tumbuhnya radikalisme, yakni kesenjangan ekonomi, ketegangan politik, dan efisiensi anggaran. Kesenjangan ekonomi, utamanya di Papua, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah dinilai terus membuat masyarakat rentan terhadap paparan radikalisme.
Di sisi lain, ketegangan politik dan perpecahan sektarian di Indonesia juga terkadang menghambat efektivitas inisiatif dari RAN PE. Adapun kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dinilai Irene bakal menghambat program RAN PE.
"Efisiensi anggaran pada tahun 2025 dapat memengaruhi pendanaan untuk program-program penting dalam pencegahan ekstremisme kekerasan," terangnya. (Tri/P-3)