
DALAM hal watak, setiap pejabat negara idealnya seorang kesatria. Di antara ciri-ciri sikapnya ialah jujur, bersih, bertanggung jawab, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta berani dan ikhlas berkorban demi kepentingan rakyat.
Dari perspektif itu, lalu sejauh mana kualitas pejabat negeri ini? Tentu kita sudah bisa melihat dan menilainya. Misalnya, bagaimana ketika menyikapi kasus-kasus kerakyatan belakangan ini, tergambarkan seberapa derajat kesatriaan mereka.
Memang tidak mudah menjadi kesatria. Apalagi kalau kelasnya hanya penikmat pangkat. Jabatan dan kedudukan bukan dimaknai sebagai amanah, melainkan posisi elitis untuk gagah-gagahan, kesempatan berbuat sesuka dan lari dari kewajiban.
DIANGGAP SUDRA
Bicara kesatria, banyak pribadi tokoh dalam dunia pakeliran yang bisa dipelajari sebagai contoh. Peran dan lakonnya satu sama lain berbeda-beda, tetapi nilai jiwa kesatria mereka pada hakikatnya sama.
Satu di antaranya yang menarik ialah Karna Basusena. Ini contoh paradoks, seorang kesatria yang teguh mempertahankan jati dirinya, tapi berada dalam rezim zalim. Pengorbanannya karena jiwa kesatria, bukan membela angkara murka.
Karna tumbuh dan dewasa dalam tempaan hidup yang tidak mudah. Sejak bayi, ia berpisah dari ibunya, Kunti, karena eyangnya, Raja Mandura Prabu Basukunti, tidak menghendaki kelahirannya. Adapun ayahnya, Bathara Surya, tidak bertanggung jawab.
Ketika itu, orok Karna yang masih merah dilarung di Sungai Gangga hingga pada akhirnya ditemukan oleh pasangan suami-istri, Adirata-Nadha, yang sedang bertirakat ingin mendapatkan anak. Karna kemudian diasuh dengan penuh kasih sayang.
Adirata tinggal di Kadipaten Petapralaya. Ia dikenal sebagai kusir istana dan dekat dengan tiga putra mantan Raja Astina Prabu Kresna Dwipayana alias Abiyasa. Mereka ialah Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura.
Pada suatu ketika, Karna ikut ayahnya sowan ke Istana Astina. Di sana ia melihat para pangeran Astina, Kurawa dan Pandawa, sedang bergeladi ilmu keprajuritan di alun-alun di bawah asuhan guru bernama Bambang Kumbayana alias Durna.
Karna tertarik ikut belajar dan menjadi murid Durna di Padepokan Sokalima. Namun, keinginannya ditolak karena derajatnya dianggap golongan sudra. Di samping itu, perintah istana bahwa Sokalima hanya untuk mendidik Kurawa dan Pandawa.
Tentu saja Karna kecewa. Namun, itu tidak sampai membuatnya patah semangat. Harapan menjadi kesatria membuatnya terus berupaya mencari jalan mendapatkan ilmu dan kesaktian. Ia nekat meninggalkan rumah untuk mengejar impian.
Hingga pada suatu ketika, Karna bertemu dan berguru kepada Ramaparasu. Dari situlah ia mengantongi beragam ilmu keprajuritan. Di antara keistimewaannya ialah mahir memanah dan bahkan mengalahkan kepintaran Arjuna, murid terbaik Durna.
JADI PENYEMANGAT
Keunggulan Karna itu menjadi perhatian Jaka Pitana, sulung Kurawa, yang saat itu diam-diam menyiapkan skenario merebut takhta Astina. Berdasarkan konstitusi, kekuasaan Astina ialah hak Pandawa sebagai ahli waris mendiang Prabu Pandu Dewanata.
Mengikuti bisikan Sengkuni, Karna direkrut sebagai saudara tua Kurawa. Ketika Jaka Pitana berhasil merampas kekuasaan Astina, Karna diangkat sebagai panglima perang. Selain itu, ia diberi kekuasaan di kerajaan kecil Awangga.
Pada saat itulah Karna bersumpah akan membalas budi kepada Jaka Pitana yang saat itu menjadi raja bergelar Prabu Duryudana. Siapa saja yang berani mengusik Duryudana akan berhadapan dengan dirinya. Tidak peduli meski saudara sendiri.
Karna sangat paham Duryudana berwatak durjana dan bengis. Buktinya, ia mengusir Pandawa, adik sepupunya sendiri. Tidak sampai di situ, Kurawa juga tiada henti berupaya menghabisi Pandawa yang dianggap sebagai ancaman kekuasaannya.
Namun, dalam diri Karna ada tekad menjunjung tinggi jiwa kesatria. Selain tahu diri, menegakkan keadilan dan kebenaran itu bisa dilakukan dari dalam. Ia mengompori Kurawa agar berani melawan Pandawa sebagai jalan kehancurannya.
Semula Kurawa miris menghadapi Bharatayuda. Kenapa? Karena dari waktu ke waktu Pandawa terus bertambah kesaktiannya. Adapun Kurawa tidak ada yang bisa diandalkan. Di situlah Karna menyatakan siap menjadi agul-agul (jagonya).
Ia dengan penuh kesadaran Karna tahu risikonya, apalagi mengerti bahwa Pandawa yang bakal memenangi perang antarsaudara itu. Lebih dari itu, ia tahu juga bahwa dirinya pasti menjadi korban. Itulah keberanian hati yang sangat dihormati.
Pada akhirnya Karna berhadapan dengan Pandawa yang sesungguhnya saudara kandung sendiri lain ayah. Puntadewa, Werkudara, dan Arjuna ialah putra Kunti dengan Pandu. Sementara itu, Nakula-Sadewa, putra kembar Pandu dengan Madrim.
Sebelum Bharatayuda pecah, Kunti menemui Karna agar bergabung dengan anak-anaknya yang lain (Pandawa). Puntadewa juga siap menyerahkan kedudukan raja Amarta kepada Karna bila bersedia bersamanya. Namun, Karna tegas menolak.
Menurutnya, nilai hidup itu terletak pada akhlak, yaitu kejujuran, bertanggung jawab, dan teguh memegang janji. Dirinya tidak membela keangkaramurkaan yang wujudnya Kurawa. Sikapnya itu justru sebagai jalan tegaknya keadilan.
Memang keraguan Kurawa berperang melawan Pandawa hilang setelah Karna terus membakar semangat dan keberaniannya. Pada akhirnya Bharatayuda terjadi di medan Kurusetra. Kurawa sirna hanya dalam waktu 18 hari.
DEDIKASI INTEGRITAS
Dalam peperangan itu, Karna gugur di tangan adiknya, Arjuna. Sebelum mengembuskan napas terakhir, Karna sambil tersenyum menyatakan ikhlas menjadi korban demi tegaknya keutamaan yang disimbolkan pada Pandawa.
Kisah singkat ini mengambarkan dedikasi serta integritas Karna sebagai kesatria. Berani dan legawa mengorbankan jiwa raganya dengan caranya sendiri demi terwujudnya keadilan. Itulah kebenaran jalan hidup yang diyakininya.
Nilai demikian itulah yang seyogianya menjadi roh para nayaka praja negara ini dalam mengemban amanah. Sejarah akan mencatat sampai di mana perjuangan dan pengorbanan Anda demi terwujudnya keadilan dan kesejahtaraan rakyat. (M-2)